Ilmu dan Ibadat : “Saya Pilih Ilmu, Kalau Anda?”^

Ilmu dan Ibadat : “Saya Pilih Ilmu, Kalau Anda?”^
Oleh : M.Taufik Bilfagih*
Sebelumnya …
Ada sebuah hadist populer yang bunyinya kalau tidak salah, kurang lebih, begini: “Dua rakaat shalat orang alim adalah lebih baik daripada seribu rakaat shalat orang bodoh.” Juga ada hadis lain yang bisa saya tambahkan untuk memperkuatnya lagi yakni: “Tidur seorang alim lebih baik daripada ibadat seorang jahil”. Jadi, dapat dikatakan bahwa jika pada tengah malam seorang alim terlelap tidur, sedangkan seorang jahil bangun dan melakukan shalat, maka tidurnya orang alim itu lebih baik daripada ibadatnya orang yang tidak berilmu.
Dari sini barangkali ada yang berpikir, “Tidak adil rasanya keistimewaan yang diberikan kepada orang alim, sampai-sampai tidurnya saja menandingi ibadatnya orang jahil.” Ada orang yang mempersoalkan, menggugat hadis ini; terutama orang-orang jahil. Bahkan, jika ada kesempatan, mereka ingin membuka-buka, mencari keterangan bahwa hadis Nabi di atas adalah dha’if, dan akhirnya menjadikan mereka puas dalam ketidaktahuannya. Imam Ali pernah berkata, “Ada kelompok orang yang membuat punggungku patah, pertama, orang bodoh yang puas dengan kebodohannya; dan kedua orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya.”
Dengan melihat apa yang disampaikan Imam Ali, sebetulnya orang-orang berilmu juga akan menghadapi siksaan yang lebih besar daripada orang bodoh. Ketika seorang alim berbuat sebuah kesalahan (dosa), maka dosanya dilipatgandakan. Sebab, anekdotnya begini; seorang jahil berbuat dosa, itu karena ketidaktahuannya; sedangkan orang alim berbuat dosa karena ketahuannya. Perlu juga diketahui, bahwa walaupun kita sering melakukan hal-hal yang dianggap baik, namun sempat kita melakukan kesalahan yang fatal, maka imbasnya-pun sangat fatal. Mengutip apa yang pernah diungkapkan Quraisy Syihab, walaupun orang itu sehat kekar karena sering melakukan olah-raga, akan tetapi ia mencoba meminum racun yang sangat bahaya, maka jangan berharap kesehatanpun akan berlanjut. Sama halnya dengan orang yang dalam hidupnya sering melakukan kebajikan, naum sesekali ia melakukan kesalahan yang dosanya memang dianggap besar pula, maka jangan berharap bahwa surga menantinya. Begitu juga sebaliknya, jika manusia yang didalam hidupnya sering melakukan maksiat, namun tiba-tiba ia melakukan perbuatan baik yang sangat berpahala, maka dengan perbuatan baik itu ia dijamin masuk surga oleh Allah swt.
Artinnya, apapun di dalam hidup ini tentu memiliki konsekuensi tersendiri, maka kita-pun harus siap dengan hal itu. Begitu juga halnya dengan fenomena orang bodoh dengan orang alim tadi. Dalam sebuah ayat Al-Qur’an disebutkan, Allah mengampuni orang-orang yang bodoh karena kebodohannya. Orang berilmu juga menggugat keterangan yang menyebutkan bahwa siksaan orang pintar – ketika ia berbuat dosa – dilipatgandakan, sementara orang-orang jahil tidak. Disitulah letak keadilan ilahi. Bahwa, keadilan Allah jangan diterma dengan akal (rasio) melainkan dengan perasaan (iman), beda halnya dengan keadilan manusia, yang saya kira sangat perlu untuk dihadapi dengan logika, agar bisa mengkritisi apa yang menjadi buah karya manusia itu sendiri.
Saya juga ingin mengajak bahwa bagimana kita memahami hadits pada awal di atas untuk menunjukkan betapa berharganya ilmu; bahkan, usaha untuk mencari ilmu jauh lebih dihargai daripada berzikir. Jika dibandingkan dengan berzikir, mencari ilmu itu lebih utama. Rasulullah pernah masuk ke sebuah majelis. Di majelis itu, tampak ada dua kelompok; yang pertama sedang berzikir, dan yang kedua sedang mempelajari ilmu. Rasulullah bersabda, “Kelompok pertama adalah kelompok yang baik. Mudah-mudahan Allah mengampuni mereka. Sedangkan kelompok kedua sedang mempelajari ilmu; mudah-mudahan Allah membimbing mereka ke jalan yang lurus.”
Rasulullah Hadir Karena Ilmu
Dari sini dapat dikatakan apa yang menjadi maksud Rasulullah, barangkali, merujuk pada ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa salah satu tugas dibangkitkannya beliau sebagai rasul ialah mengajarkan ilmu: Huwa al-ladzi ba’atsa fi al-ummiyin rasulan yatlu ayatih. Dialah yang telah mengutus di kalangan orang-orang ummi seorang rasul untuk membacakan ayat-ayat-Nya (Q.S. Al-Jummu’ah: 2). Dan sabdanya, “Innama bu’itstu mu’alliman. Sesungguhnya aku diutus sebagai seorang yang mengajarkan ilmu.” Beliau bersabda lagi, “Jika kamu bangun pagi hari dan membuka satu bab ilmu pengetahuan, itu lebih baik bagi kamu daripada ibadat semalam suntuk.” Jadi, orang yang salat Tahajjud, tidak tidur satu saat pun, pahalanya kalah besar dari orang yang mempelajari satu bab ilmu. Disini terlihat bahwa Islam itu sendiri lebih mengutamakan ilmu dibanding ibadat (saya lebih sepakat mengatakan bahwa orang yang mencari ilmu bisa dikatakan sedang beribadat, sedangkan orang yang beribadat belum tentu berilmu). Yang paling baik adalah orang yang banyak berzikir, sekaligus banyak mempelajari ilmu.
Pada perkembangan mutakhir, ternyata banyak orang yang merasa nikmat dengan menghadiri majelis zikir daripada majelis ilmu. Inilah yang menyebabkan orang Islam ketinggalan dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dari bangsa-bangsa lain. Jalaluddin Rakhmat sempat mengeluarkan statmen pertanyaan mengapa umat Islam terbelakang sedangkan umat non-muslim maju?. Salah satu di antara jawabannya adalah karena pernah, dalam perkembangan umat Islam, kita lebih mengutamakan majelis zikir daripada majelis ilmu. Sekarang tampaknya kita harus menggeser lagi perhatian seperti itu supaya kita memperhatikan majelis ilmu, untuk menutupi kekurangan ibadat, bukan mengganti ibadat. Betapapun banyaknya ibadat-ibadat yang kita lakukan, masih banyak kekurangannya dibandingkan dengan anugerah Allah kepada kita. Untuk menutupi kekurangan itulah, kita menghadirkan majelis-majelis ilmu, membaca buku, mempelajari satu bab dari buku; bukan buku agama saja, tetapi juga berbagai buku ilmu pengetahuan.
Jangan-jangan Karena Banyak Ibadah Kita Jadi Fanatik?
Ada pandangan subjektivitas saya yang sedikit “nakal”, bahwa orang yang terlalu mementingkan ibadatnya bisa saja menjadi korban dari ibadatnya itu sendiri. Dalam artian bahwa, tidak bisa dipungkiri mereka yang merasa sudah beribadat untuk agamanya menjadi penduduk fanatik dalam agamanya itu. Mereka sudah tak mau tahu lagi dengan perkembangan ilmu dan zaman yang terus mengalir dengan pesat ini. Dengan merasa sudah sangat radikal dalam beragama (alias menyatu dengan Tuhan), fenomena ilmu yang tersusun dalam keadaan sekarang ini dianggap menyesatkan. Bahkan lebih ekstreem lagi, mereka menjadi biang keladi kehancuran di sana-sini (teror bom, kekerasan-kekerasan atas nama agama, dan klaim kebenaran yang sepihak). Inilah imbas dari kita yang tidak mau ‘menggauli’ ilmu.
Pengalaman Kaum Kristen Fanatik
Lebih riil lagi dari apa yang pernah tercatat dalam sejarah Yunani tentang persoalan dari bentuk fanatisme agama di Mesir, yakni pembakaran tragis di sebuah Perpustakaan yang bernama Iskandaria. Konon, perpustakaan yang penuh dengan buku-buku ilmiah ini untuk pertama kalinya umat manusia mengumpulkan -dengan penuh kesungguhan dan secara sistematis- pengetahuan tentang dunia ini. Lebih jauh, di Iskandaria tampil banyak ahli ilmu pengetahuan, seperti Hipparchus yang mencoba membuat peta konstelasi bintang-bintang dan mengukur tingkat cahaya bintang-binyang itu; lalu Euclidus, penemu sebenarnya ilmu ukur atau geometri; kemudian Dionysius, yang meneliti organ-organ suara manusia dan meletakkan teori tentang bahasa; Heron, penemu rangkaian roda gigi dan mesin uap kuna, pengarang buku Automata, sebuah buku pertama tentang robot; Hypatia, seorang wanita ahli matematika dan astronomi, yang mati dibakar tidak lama sebelum Iskandaria dibakar. Dan masih banyak lagi para ilmuan yang ikut berpartisipasi pada pusat keilmuan, Iskandaria.
Siapakah yang membakar perpustakaan Iskandaria itu? Tidak lain adalah mereka yang berpaham fanatik terhadap agama mereka (Agama itu adalah agama Kristen yang menjadikan wataknya menjadi agama yang penuh dengan mitologi). Nurcholish Madjid mengutip sebuah ungkapan Carl Sagan, seorang ilmuan dan astronom terkenal, yang dicantumkannya dalam bukunya (Islam, Doktirn dan Peradaban) bahwa jika seandainya perpustakaan Iskandaria tidak menjadi korban fanatisme agama, dan tradisi keilmuannya terus berlanjut, maka Einstein sudah tampil lima abad yang lalu. Atau mungkin malah seorang Einstein tidak pernah ada, sebab perkembangan ilmu pengetahuan yang integral dan menyeluruh sudah terjadi, dan mungkin pada akhir abad kedua puluh Masehi ini, umat manusia yang masih tinggal di bumi ini relatif berkurang, karena sebagian besar telah menjelajah dan mengkoloni (baca: menjajah/ menjadi penduduk) bintang-bintang dan telah beranak-pinak sampai mencapai miliyaran jiwa! Kalau pada tahap sekarang ini kita baru akan memasuki era globalisasi dengan adanya kemudahan transportasi berkat adanya pesawat-pesawat jumbo, maka jika seandainya pusat ilmu Mesir (Perpustakaan Iskandaria. Red) itu tidak dibakar kaum fanatik, dan warisan ilmiahnya berkembang terus tanpa terputus, kita sekarang sudah memasuki era antar bintang (interstellar era), dengan kapal-kapal ruang angkasa yang berseliweran di atas orbit bumi, dan dengan nama-nama kapal yang tidak dalam bahasa Inggris seperti sekarang, tapi dalam bahasa Yunani! (lht: hh. xxxiii)
Terus…
Nah… akankah kita (muslim) menjadi orang yang fanatik terhadap agama kita sendiri? Akankah kita tertinggal dari perkembangan yang terjadi. Biarlah peristiwa Iskandaria itu menjadi pengetahuan bagi kita, kedepan kita-lah yang akan menjadi pencetus dan tokoh Iskandaria II dalam konteks Indonesia – bukannya Alexandaria yang menjadi album Peterpan. Perlu di ingat ilmu menjadikan kita lebih kharismatik, yang dalam bahasa Al-Qur’an, karangan Allah Swt, bahwa Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu.
Orang sering mengatakan bahwa Islam adalah agama yang egalitarian, agama yang menekankan persamaan derajat. Meskipun demikian, dalam Islam, ada yang harus dibedakan. Al-Qur’an menegaskan bahwa dalam hal ilmu kita harus “diskriminatif”. Dalam hal ilmu, kita tidak boleh perlakukan sama. Kita tidak boleh membedakan orang karena kekayaannya, keturunannya, jabatannya atau asal-usulnya. Namun dalam hal ilmu, kita harus membedakan orang. Bahkan, Allah menegaskan beberapa kali: “Apakah sama orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu?” (Q.S Al-Zumar: 9). Pertanyaan dalam ayat itu adalah pertanyaan retoris; artinya, jawabannya sudah pasti, yaitu “tidak sama”. “Apakah sama orang-orang yang buta dengan orang yang melihat?” (Q.S Al-An’am: 50) “Apakah sama kegelapan dengan cahaya?” (Al-Ra’id:16) Berulang kali Al-Qur’an menyebutkan bahwa tidak sama antara kebodohan dengan ilmu. Kemuliaan dalam Islam terletak dalam ilmu. Karena itulah, sayapun memilih ilmu. Bagaimana dengan anda?

^ wacana ini coba saya utarakan melalui bacaan saya terhadap realitas keilmuan yang terjadi sekarang. Orang yang sering beribadat sekarang, tidak jauh dengan bentuk keegoisannya dalam beragama. Sementara ia lupa bahwa disana ada yang tertindas dan membutuhkan atensi tersendiri dari banyak khayalak. Refrensi yang menjadi pedoman kali ini adalah bahasa-bahasa Kang Jalal yang di ungkapnya melalui tulisan-tulisan komunikatifnya. Juga wacana histories yang coba di ungkap Nurcholis Majid pada Islam Doktrin dan Peradaban
*Mahasiswa STAIN Samarinda. Aktifis KOSIEM, JIE Kaltim.

1 komentar:

Perjalanan Hajiku mengatakan...

Ilmu adalah penerang. Ilmu adalah pintu gerbang.
By writer of Hajji Book:
40 Hari Di Tanah Suci.
Thank you

Pages