Media dan Hegemoni*


Media dan Hegemoni*

By: Muhammad Taufik Bilfagih**


Globalisasi merupakan peristiwa yang paling "tersohor" pada sekitar abad 21. Bahwa dunia akan diseragamkan dan menghapus identitas dan jati diri serta kebudayaan lokal yang di "makan" oleh kekuatan global. Dan begitulah Globalisasi. Alvin Toffler menyebutnya "dunia ketiga", setelah agrikultur (dunia pertama) dan industri (dunia kedua). Pergeseran yang terjadi adalah kekuasaan dari pusat kekuasaan dengan sumbernya yakni tanah, lalu kapital (modal), dan selanjutnya penguasaan terhadap informasi (sains dan teknologi). Kalau bahasanya Naem; "kejahatan dan imprealism pengetahuan"

'Hegemoni' (Antonio Gramsci) tidak hanya berkaitan dengan dominasi politik, berupa kekuatan, tetapi juga dengan dominasi budaya, melalui bahasa. Pada sistem kekuasaan yang dibutuhkan bukan hanya 'kekuatan' (senjata militer), namun yang diperlukan
juga "publick consent" (penerimaan publik) yang didapat melalui mekanisme kepemimpinan kultural, begitu juga peguasaan bahasa.Sistem kekuasaan seringkali menggunakan bahasa sebagai alat hegemoni. mekanisme yang dilakukan melalui dua cara. Pertama, ketika ia tidak memberi ruang bagi bahasa-bahasa lain, karena dianggap
ancaman. Kedua, ketika bahasa digunakan menyampaikan informasi yang berafiliasi dengan kepentingan kekuasaan. Bahasa, disini semata menjadi perpanjangan tangan dari sebuah sistem kekuasaan hegemonis, sebuah kran untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan ideologi dominan. wal-Hasil, penguasapun menggunakan bahasa untuk menikmati kekuasaan.


Persoalan bahasa di media menarik untuk dikaji. Sebab bahasa di Media bisa menghegemoni sebagian masyarakat sehingga mereka harus mengikutinya (membenarkan, melihat, mendengar dan mendiskusikan). Terkadang, hegemoni dapat diartikan sebagai kekuasaan yang dicapai melalui konsensus, dan bukan melalui paksaan. "Gairah" hegemonipun sangat dalam, bagaimana ia masuk ke wilayah pemikiran dan perasaan masyarakat, bergerak di wilayah publik dan wilayah domestik. Coba perhatikan, media televisi kita selalu memproduksi tayangan-tayangan hyperealita (sok begini bangeet), contohnya seperti sinetron atau infotaiment. Sadar atau tidak (kebanyakannya tidak), masyarakat dihipnotis oleh tayangan media, akibatnya memandulkan kesadaran realita. Sudut lain, bahasa-bahsa yang dipakai infotaiment pun sering diekspresikan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, 'capek dech', 'kembali ke laptop', 'no comment', ataupun bahasa iklan lainnya. (Lebih lengkap, Abdullah Naem sedang menggarap artikel tentang istilah-istilah 'gaul' yang diadopsi melalui media
TV_infoteiment, lainnya).


Lewat bahasa media, manusia - baik individu maupun kelompok - dibentuk seragam dalam menginterpretasikan bahasa. Uniknya, penyeragaman penafsiran bahasa ini menjadi ciri khas tersendiri. Tidak heran jika ada 'manusia latah' disekitar kita. Bahkan, hal ini "sudah menjadi tradisi" (ungkap salah satu iklan TV). Akhirnya, lahirlah manusia-manusia pasif secara sadar atau tidak (lagi-lagi kebanyakan tidak). Manusia yang hanya berpikir tentang hal menyenangkan atau tidak menyenangkan baginya. Dan kegiatan yang bersifat baca-tulis terasa berat untuk dilakukan, karena mereka terbiasa menjadi penonton (bahasa Mas Yus; "kita menjadi masyarakat intip, yang bersifat 'penyontek' alias jadi masyarakat issu"). Kasusnya, bahasa media ini akan dijadikan sebuah kebenaran tunggal. Dekonstruksionis strukturalisme, Jaques Derrida, berpandangan, bahwa makna bahasa selalu tertuntda, menunggu baerbagai hal yang datang dari luar dan mempengaruhi dirinya. Dimana pembaca/audienc harus aktif dan kritis dalam menghadapi pilihan-pilihan media yang begitu luas pada era globalisasi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa bahasa tidak memiliki pemaknaan yang tunggal dalam mempresentasikan fenomena yang ada.


*Tulisan ini di inspirasikan setelah selalu mengikuti kajian diskusi
dengan kawan-kawan Naladwipa tentang wacana-wacana Post-
kolonialisme, Post-modernisme, dan post-post lainnya.

Selain itu, penulis beberapa waktu yang lalu sempat mengikuti Sosialisasi
Penyiaran TV Indonesia yang dilaksanakan di HOTEL MJ Samarinda, oleh
KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) PUsat dan Daerah. Dalam proses
sosialisasi penulis terilhami dengan bahasa-bahasa media yang
cenderung menghegemonik.

**Penulis adalah orang Arab (Quraisy)

Tidak ada komentar:

Pages