'Teologi Pluralis' yang Merusak (Kerukunan) Agama

Melalui artikelnya di harian ini edisi 24 Juni 2000 yang berjudul 'Mengembalikan Kerukunan Umat Beragama', Budhy Munawar-Rachman (BMR) mengajukan pemikiran bahwa kerukunan umat beragama dapat dicapai jika para pemeluk agama menganut -- dan mengembangkan -- teologi pluralis atau teologi inklusif. Sebaliknya, teologi eksklusif tidak kondusif dan menjadi akar munculnya konflik agama (SARA).

Teologi pluralis, menurut BMR, melihat agama-agama lain dibanding dengan agamanya sendiri dalam rumusan: 'other religions are equally valid ways to the same truth (John Hick); Other religions speak of different but equally valid truths (John B Cobb Jr); Each religion expresses an important part of the truth (Raimundo Panikkar). Intinya, penganut teologi pluralis meyakini bahwa 'semua agama memiliki tujuan yang sama'. Dalam istilah lain, teologi pluralis dirumuskan sebagai 'satu Tuhan, dalam banyak jalan.' Untuk menguatkan pendapatnya, BMR mengutip ucapan Rumi: 'Meskipun ada bermacam-macam agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda tidak tahu bahwa ada banyak jalan menuju Ka'bah?' Teologi pluralis, menurut BMR, menolak paham ekslusivisme, sebab dalam eksklusifisme itu ada kecenderungan opresif terhadap agama lain. Teologi eksklusif dirumuskan sebagai pandangan yang menganggap bahwa hanya ada satu jalan keselamatan: Agama mereka sendiri. BMR mencatat: 'Pandangan ini jelas mempunyai kecenderungan fanatik, dogmatis, dan otoriter!' Dengan bahasa yang lebih sederhana bisa dirumuskan bahwa untuk terjadinya kerukunan umat beragama, maka seorang Muslim -- dan pemeluk agama lain -- harus menghindarkan sikap fanatik, dogmatis, dan otoriter, yang menganggap bahwa hanya agama yang dipeluknya yang benar. Pemeluk suatu agama harus menganut teologi pluralis: Ia harus meyakini bahwa agama lain juga benar, yang berbeda hanya cara saja. Tapi, tujuannya adalah sama.
Ide lama kemasan baru

Gagasan BMR sebenarnya gagasan lama yang dikemas dengan istilah-istilah yang lebih indah, seperti 'inklusif', 'pluralis', dan sejenisnya. Ide ini sama saja dengan gagasan sinkretisme, pendangkalan aqidah, atau sekularisme, yang semakin menjadi-jadi setelah World Parliement of Religions di Chicago tahun 1993 menyepakati perlunya suatu 'global ethics' untuk membangun perdamaian dunia. Sejumlah tokoh di Indonesia juga rajin mengkampanyekan gagasan ini. Salah satunya adalah Gus Dur.

Baru empat hari terpilih sebagai Presiden RI, Gus Dur sudah mengeluarkan pernyataan yang bernada sinkretik ketika berkunjung ke Bali: 'Kalau kita benar-benar beragama, maka akan menolak kebenaran satu-satunya di pihak kita dan mengakui kebenaran semua pihak. Kebenaran mereka yang juga kita anggap berbeda dari kita. Ini yang paling penting. Oleh karena itu semuanya benar. Semuanya benar.' Dalam bukunya berjudul Samakah Semua Agama?, misionaris Dr J Verkuyl memuat hikayat Nathan der Weise (Nathan yang Bijaksana). Nathan adalah seorang Yahudi yang ditanya oleh Sultan Saladin tentang agama manakah yang terbaik, apakah Islam, Yahudi, atau Nasrani. Ujungnya, dikatakan, bahwa semua agama itu intinya sama saja. Hikayat Nathan itu ditulis oleh Lessing (1729-1781), seorang Kristen yang mempercayai bahwa intisari agama Kristen adalah Tuhan, kebajikan, dan kehidupan kekal. Intisari itu, menurutnya, juga terdapat pada Islam, Yahudi, dan agama lainnya.

Ungkapan penyamaan agama juga pernah diungkap oleh Mahatma Gandhi: 'Setelah mempelajari lama dan seksama serta melalui pengalaman, saya sampai kepada kesimpulan bahwa (1) semua agama itu benar, (2) semua agama itu memiliki beberapa kesalahan di dalamnya, dan (3) semua agama itu bagi saya sama berharganya sebagaimana agama saya sendiri yaitu Hindu.' Menurut Gandhi, agama ibarat jalan yang berbeda-beda namun menuju titik yang sama (Gandhi, 1958).

Jadi paham persamaan agama sebenarnya bukanlah hal baru. Kaum sekular, sinkretis, bahkan kaum Zionis, pun telah mengembangkan paham ini ratusan tahun yang lalu. Jika BMR, Gus Dur, dan kawan-kawan kemudian ikut-ikutan menyuarakan paham persamaan agama, maka mereka adalah sebenarnya hanya menjadi bagian kecil dari kampanye global dari paham sekular atau sinkretis.

Pada kutub yang lebih ekstrem, para penganut paham penyamaan agama akan meragukan kebenaran agamanya sendiri atau menganggap semua agama sama saja dan benar, tidak ada yang salah. Wacana dilematis semacam ini pernah diungkapkan oleh Ahmad Wahib dalam catatan hariannya, 'Pergolakan Pemikiran Islam' yang sangat kontroversial. Wahib yang sempat bergaul akrab dan diasuh selama lima tahun oleh romo HC Stolk SJ dan romo Willenborg, menulis: 'Aku tak tahu, apakah Tuhan sampai hati memasukkan dua orang bapakku itu ke dalam api neraka. Semoga tidak.' Program 'Free Masonry'

Bila ditelusuri secara mendalam, pemikiran sinkretis yang berupaya menyamakan semua agama, pada dasarnya adalah bentuk pelecehan terhadap agama. Pemikiran sinkretis semacam itu juga pernah dikembangkan oleh kelompok organisasi rahasia Yahudi Free Masonry. Kelompok ini pernah mendirikan perkumpulan teosofi di Indonesia dengan nama Nederlandsch Indische Theosofische Vereeniging (Perkumpulan Teosofi Hindia Belanda, yang merupakan cabang dari perkumpulan teosofi yang bermarkas di Adyar, Madras, India (Saidi, 1994: 10-13).

Selain menyamakan agama-agama, kelompok ini juga berupaya menggabungkan nilai-nilai kebajikan pelbagai agama. Malah, menurut mereka, pelbagai agama itu masih harus disempurnakan lagi dengan ajaran teosofi versi mereka. (Majalah Teosofie In Nederlands Indie, No 1/Th 1, Mei 1910).

Pokok-pokok ajaran teosofi di antaranya, (1) menjalankan persaudaraan tanpa memandang bangsa, agama, dan warna kulit, (2) semua agama yang digelarkan di dunia ini sama saja maksudnya. Semua agama berisi teosofi, (3) semua agama memerlukan tambahan 'ilmu kebersihan' seperti yang diajarkan teosofi. Secara lebih lejas, misi teosofi digambarkan oleh Ketua Theosofische Vereeniging Hindia Belanda, D Van Hinloopen Labberton, pada majalah Teosofi bulan Desember 1912:

'Kemajuan manusia itu dengan atau tidak dengan agama? Saya kira bila beragama tanpa alasan, dan bila beragama tidak dengan pengetahuan agama yang sejati, mustahil bisa maju batinnya. Tidak usah peduli agama apa yang dianutnya. Sebab yang disebut agama itu sifatnya: Cinta pada sesama, ringan memberi pertolongan, dan sopan budinya. Jadi yang disebut agama yang sejati itu bukannya perkara lahir, tetapi perkara dalam hati, batin. Sepintas, ajaran-ajaran itu tampak indah. Padahal, ajaran-ajaran itu sebenarnya racun halus yang secara perlahan membetot keimanan seorang Muslim. Seorang Muslim yang menganut paham semacam itu, akan tidak terlalu peduli dengan konsep-konsep teologis agamanya sendiri, demi tujuan 'persaudaraan' kemanusiaan.
Kerancuan teologis

Hamka (alm) pernah menyatakan, orang yang mengatakan bahwa semua agama itu sama dan benar, sebenarnya orang itu tidak beragama. Logikanya, jika semua agama sama, maka buat apa beragama? Lalu, agama mana saja?

Bagi Muslim, 'teologi pluralis' versi BMR sangatlah aneh dan menyesatkan. Dalam tataran teologis, Islam memiliki konsep 'eksklusif' dan tegas. Hanya Islam yang benar, yang lain adalah kafir dan sesat. Hanya Islam jalan keselamatan. (QS 3:19, 3:85; 98:6; 5:72-75; dsb).

Di era 1970-an dan 1980-an, pemerintah Orde Baru dengan gerakan sekularisasinya juga sibuk membuat program pendangkalan aqidah dan 'pengikisan fanatisme' keagamaan. Gerakan itu disisipkan melalui buku-buku PMP yang sempat menyulut protes para pemimpin Islam. Pada intinya, program ini berusaha mengikis keyakinan keagamaan yang menganggap kebenaran hanya pada agamanya sendiri.

Teologi sinkretis (pluralis) yang dikembangkan Orde Baru itu terbukti amburadul dan kontraproduktif. Konflik SARA justru melonjak tajam di masa 'orde' itu. Data perusakan gereja yang dikeluarkan FKKI/FKKS (1997) menunjukkan lonjakan tajam perusakan/pembakaran gereja di era Orba.

Jumlah gereja yang ditutup, dirusak, atau dibakar di Indonesia Periode Tahun 1945-1997

Periode


Jumlah


Persentase (%)


Rata-rata/tahun

1945-1954


0


0


0

1955-1964


2


0


0,2

1965-1974


46


13


4,6

1975-1984


89


25


8,9

1985-1994


132


36


13,2

1995-1997


89


25


44,2




358


100



Sumber: FKKS-FKKI, 1997

Banyak analisis terhadap maraknya perusakan gereja di Indonesia di masa Orba. Yang jelas, rezim Orba melakukan penyeragaman ideologi dan 'mengharamkan' perdebatan (dialog) di tengah masyarakat, dan memunculkan 'hantu SARA'. Kepemimpinan BJ Habibie yang hanya berumur sekitar 500 hari juga tak melakukan perubahan berarti dalam penyelesaian kasus konflik SARA. Masih serba tertutup dan tabu bicara soal SARA, khususnya dialog antaragama. Rezim Gus Dur, selain mengembangkan sinkretisme, juga cenderung pro-Kristen.

Masing-masing kelompok agama sebenarnya menginginkan dialog yang lebih terbuka, jujur, dan transparan, sehingga konflik ideologis tidak berlangsung dalam suasana intrik yang sangat tidak sehat, tidak jujur, dan didominasi semangat kemunafikan. Orang Kristen tidak jujur dengan proyek Kristenisasinya. Orang Islam juga enggan terbuka soal konsep-konsep ideologis dan keagamaan Islam tentang kaum Nasrani. Jika dialog agama sudah berpijak kepada 'ketidakjujuran' dan 'kemunafikan', maka dialog itu akan berujung kepada kesia-siaan.

Teologi pluralisme versi BMR pada ujungnya hanya akan mengulang tragedi konflik SARA di masa Orde baru dan mengembangkan kemunafikan seperti ini

Penulis :Adian Husaini

Tidak ada komentar:

Pages