Merebut Hak Warga Yang Direnggut

Indonesia memang masih berumur sangat muda. Negara yang baru merdeka 60 tahun lalu dari Belanda dan Jepang ternyata memiliki pengalaman konflik yang sangat mengerikan. Pusaran konflik yang berbau SAROP (Suku, Agama, Ras, dan Organisasi Politik) ini masih saja belanjut hingga kini, seolah tiada hentinya. Apa yang salah dengan keindonesiaan kita? Ataukah bangsa yang sedemikian plural ini memang tak pernah untuk diajak berbicara tentang Indonesia? Mungkinkah keindonesiaan kita saat ini hanyalah fantasi dari kaum ‘terdidik’ yang hanya mendiami pusat-pusat kekuasaan di perkotaan? Lantas dimana suara mereka yang dianggap tidak berbau sekolahan itu?
Pertanyaan diatas memang sengaja dihadirkan sebagai pembuka untuk mengawali latar belakang kajian ini. Tak bisa dipungkri bahwa orang-orang yang selama ini tinggal di daerah pedalaman, digunung, dilembah yang jauh dari keramaian kota selalu tidak mendapatkan tempat untuk dapat berbicara menentukan dirinya sendiri tanpa harus mengganggu ketentraman kehidupannya. Atas nama pembangunan orang-orang pinggiran yang bukan kaum sekolahan yang mendiami bukit, lereng gunung, pelosok pedesaan kerapkali menjadi korban pembangunan. Banyak fakta yang tidak bisa dipungkiri atas hal ini.
Selain itu, potensi konflik yang berbau agama dan etnik di Indonesia merupakan permasalahan yang harus tetap disadari dan dihadapi secara bersama. Sisa-sisa siklus kekerasan yang bernuansa agama seperti di Poso dan Ambon juga masih terus terjadi. Belum lama juga gerakan teroris semakin merajalela. Dengan kata lain ketegangan dan pemboman tempat-tempat ibadah masih terus berlangsung.

Meski sisa-sisa kekerasan ini hanya terjadi secara sporadic namun perisitwa semacam ini tetap mempunyai imbas pada bangsa Indonesia secara keseluruhan. Pada level yang paling langsung konflik bernuansa agama bisa menimbulkan ketidakpercayaan, kecurigaan, dan ketegangan antar pemeluk agama. Pada level yang lain konflik bisa memperkuat identitas masing-masing agama dan seringkali memusuhi agama lain.

Salah satu elemen strategis yang berperan dalam berlanjutnya atau berakhirnya konflik adalah program pemerintah dan kegiatan Missi dalam kristen atau dakwah dalam Islam. Pemerintah langsung atau tidak langsung seringkali terlibat dalam melaporkan satu kasus dari satu sisi (cover one side), tanpa melihat dari sisi lainnya. Kadangkala mereka merasa telah melaporkan fakta apa adanya, namun seringkali masyarakat membacanya secara berbeda dan memperkuat sentimen salah satu kelompok agama.

Kegiatan dakwah yang dipolitisasi juga berperanan dalam memperkuat energi umat satu kelompok untuk memelihara sikap permusuhan dan kebencian. Pilihan dan interpretasi ayat-ayat suci sering dijadikan justifikasi dalam konteks permusuhan ini. Lebih jauh lagi kegiatan dakwah yang mengalami politisasi bisa menciptakan suasana bermusuhan (state of war) terus menerus sebagai suatu pilihan suci. Identitas umat dibangun dengan semangat “us” and “them” concept yang mengandaikan adanya musuh-musuh yang mengancam dan akan menguasai mereka.


Kalau sudah begini, konflik karena pemahaman terhadap makna budaya yang timpang akan menjadi warisan turun temurun dari generasi ke generasi. Dan secara otomatis yang paling diuntungkan dari kondisi seperti ini adalah penguasa, atau mereka yang mayoritas. Sementara di lain pihak, minoritas bisu (silent minority), akan selalu marginal, teralienasi, sub-alternatif dan tertindas.
Dialog kebudayaan, sebagai partikulasi nyata apa yang biasa kita istilahkan dalam dialog peradaban, yang melibatkan banyak komunitas, lambat laun harus kita yakini akan menetralisir ketegangan budaya di antara mereka. Sebab melalui dialog-dialog tersebut usaha mendamaikan konflik kebudayaan setidaknya bisa kita mulai. Dengan pendekatan semacam ini, khazanah tentang kebudayaan bisa kita angkat sebagai alat sosial yang akan menjadi media yang bersifat rekonsiliatif bagi masyarakat. Siapapun pasti akan merindukan suasana harmoni, tidak saling mencurigai dan toleran satu sama lain. Perbedaan budaya akhirnya tidak cukup menjadi alasan untuk melakukan marginalisasi dan mengalienasi budaya-budaya lain (the other cultures) sebagai hal yang rendah, dekil, murahan dan tidak pantas dilestarikan, seperti yang sudah disinggung sebelumnya.
Kehidupan antar budaya, keberagaman cara pandang, perbedaan antar etnik, aneka ragam aliran dan keyakinan, akan berubah menjadi formulasi peradaban yang utuh, unik dan mutual. Tidak ada lagi saling membunuh, baik dalam arti fisiologis atau secara sosio-politik dan ekonomi, di antara heterogenitas kebudayaan yang ada. Tidak ada juga pendikotomian eks PKI dan tidak eks PKI, kiri dan kanan, muslim dan non muslim, Madura dan Betawi, dan seterusnya. Dengan demikian, seperti yang dilukiskan dengan baik oleh Lombart, pluralisme hanya mungkin tumbuh di suatu peradaban (the civilization) jika energi osmosis yang pernah tampil di masa lampau kembali ditampilkan dalam relasi sosial di masa kini. Tentu kedepan, kita juga berharap tidak ada lagi tindak diskriminasi lainnya. Kita tentu berharap kelompok kelompok marginal seperti Tengger dapat merayakan kebebasan berkekpresi dalam beribadah, dan tidak terpusingkan lagu dengan ini agama resmi atau tidak resmi, ini tauhid atau tidak versi dominan sehingga tidak ada lagi pemberangusan agama-agama lokal atas nama tauhid, dan seterusnya.
Kita tentu juga sangat berharap, para seniman seniman pinggir mampu mengapresiasikan seluruh daya estetikanya sebegai representasi kebudayaan dan tradisi kehidupan mereka, tanpa harus terbatasi oleh klaim klaim agama mengenai benar-salah yang bersifat represif dan hegemonik. Selanjutnya, kita semua dapat merayakan keterbedaan dengan suasana yang damai, demokratis, dan egaliter.
Jika ruang publik itu dibuka, dan semua anak bangsa dapat berdiri diatas keotonomiannya, maka hal itu akan menjadi penyangga kelangsungan bangsa ini. Sehingga tatanan kita dapat adalah tatanan masyarakat yang benar-benar dibingkai oleh semangat persaudaran yang saling menghargai satu sama lain. Bukan sebaliknya saling tumpang tindih berebut klaim kebenaran. Semoga saja.

Tidak ada komentar:

Pages