Gubernur Sulut: Tidak Ada NU, Tak Ada Indonesia

SHS
Jombang, NU Online Ujian dalam menjaga integritas bangsa semakin berat lantaran banyaknya kepentingan yang melingkupi. Baik kepentingan investasi, kekuasaan serta motivasi yang lain. Mereka seakan tidak terlalu peduli dengan ancaman terhadap keutuhan NKRI. Padahal kemajemukan adalah sebuah pilihan yang tidak terhindarkan. Demikian disampaikan oleh Gubernur Sulawesi Utara, Sinyo Harry Sarundajang, saat menjadi pembicara dalam diskusi "Mengungkap Penyebab dan Penyelesaian Konflik Antar Agama di Ambon" yang digelar di Pesantren Tebuireng, Jombang, Ahad (29/9). "Kemajemukan itu sunnatullah, harus diterima, majemuk ada dimana-mana," katanya. Belajar dari kasus kerusuhan Ambon dan Maluku beberapa tahun silam, Sarundajang meminta semua pihak tidak menggunakan simbol agama untuk memuluskan langkahnya meraih tujuan. Apalagi jika hal itu berkaitan dengan politik. Menurutnya, penggunaan simbol agama dalam tujuan politik bisa membahayakan keutuhan bangsa. "Jangan menggunakan agama sebagai alat politik, ini berbahaya," ujarnya. Sarundajang mengungkapkan bahwa akar penyebab konflik di Maluku dan Maluku Utara, antara lain persoalan kesenjangan sosial, perebutan sumberdaya alam, serta pertikaian elit politik dan birokrasi. Faktor-faktor tersebut kemudian dibungkus menjadi konflik agama. "Sebenarnya tidak ada konflik agama, tetapi provokasi yang kuat dari sejumlah fihak mengarahkan konflik itu sebagai konflik agama," terangnya. Dia menuturkan, saat diminta untuk memediasi konflik di Maluku dan Maluku Utara, dirinya selalu memegang keyakinan bahwa konflik itu bukan konflik berlatar agama. "Prinsip saya bahwa suku, etnis, ras dan agama boleh berbeda, iman dan keyakinan boleh berbeda. tetapi semuanya adalah satu, yaitu satu bangsa Indonesia," kata Surandajang. Keberagaman suku, ras, agama dan etnis merupakan sesuatu yang ada sejak lahirnya bangsa Indonesia dan hal itu harus dijaga sebab itu merupakan ciri kebesaran bangsa Indonesia. Menurut Surandajang, kebersamaan dalam keberagaman yang kini tercipta di Indonesia, tidak lepas dari peran-peran tokoh Nahdlatul Ulama (NU), seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Bisri Syansuri yang sedari awal memperjuangkan asas Pancasila sebagai dasar negara. Negara Pancasila, lanjutnya, memperjuangkaan kesetaraan antar semua golongan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. "Negara Pancasila menolak diktator mayoritas dan tirani minoritas,” katanya. “Saya mempelajari betul bagaimana perjuangan tokoh-tokoh pendiri NU. Pandangan saya, tidak ada NU, tidak ada ini Republik," lanjut Surandajang. Diskusi ini menghadirkan pembicara yakni, DR. Sinyo Harry Sarundajang, mantan PJ. Gubernur Maluku Utara, DR. H. Muhammad at Tamimy, mantan wakil panglima perang Laskar Jihad, DR. H. Imam Suprayogo, Rektor UIN Malang, serta KH. Sholahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang. Acara diikuti sejumlah akademisi, mahasiswa dan para santri sejumlah pondok pesantren di Jombang. (Syaifullah/Abdullah Alawi)

Tidak ada komentar:

Pages