Mengelola Kebebasan Beragama

Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menegaskan tentang kebebasan beragama dan untuk menjalankan kepercayaan agamanya menurut keyakinannya masing-masing. Kebebasan demikian, pada pasca reformasi semakin ditegaskan melalui sejumlah instrumen hak asasi manusia, yang di dalamnya dapat dikatakan semua instrument internasional tentang hak asasi manusia telah diadopsi. Lalu apa soalnya, mengapa selama era reformasi konflik dan kekerasan agama justru semakin marak?

Akar Konflik
Banyak pandangan mengenai ini. Sebagian mengaitkan akibat dari kepemimpinan nasional yang lemah. Sekilas kesannya terlalu politis. Namun Neli Todorova pernah membuktikan dalam penelitiannya mengenai masyarakat Turki di Bulgaria (2000). Yang lebih mendasar, bahwa fakta itu berhubungan dengan kenyataan struktural, yakni adanya kesenjangan, terutama mengenai visi tentang kebebasan, yaitu antara norma ideal yang diinstitusionalisasikan dengan realitas sosiologisnya: norma yang diinstitusionalisasikan bersifat sekuler, yang berakar dari paham individualisme-liberalisme; sementara realitas sosiologisnya melandaskan pada semangat komunalisme, yang lebih menekankan pada tujuan terbentuknya kebaikan komunitarian untuk menuju harmoni.

Argumen demikian ada benarnya, sebab masing-masing kebudayaan itu ditandai oleh keanegaraman internalnya, yang berhubungan dengan sistem kepercayaannya. Kebebasan berekspresi di Barat misalnya, jelas berbeda dengan Timur, seperti Indonesia, yang kulturnya, meminjam istilah Joel L.Kraemer (1986), bersifat ensiklopedis, yakni budaya yang beragama. Itu pula sebabnya pada tahun 1990 Organisasi Konferensi Islam (OKI) mengeluarkan Deklarasi Kairo mengenai HAM, sekalipun sebelumnya, pada tahun 1948, PBB telah mengeluarkan Universal Declaration of Human Rights. OKI keberatan, terutama Arab Saudi, terutama pada Pasal 16 mengenai perkawinan antar agama, dan Pasal 18 mengenai hak untuk berpindah agama. Sementara negara-negara sosialis keberatan karena menilai terlalu sarat dengan nilai-nilai liberal.

Jika kita perhatikan konflik dan kekerasan agama yang selama ini terjadi di Indonesia, di sana  kita menemukan fakta bahwa dalam setiap konflik tersebut mempunyai modus operandi yang sama, selalu ada pemicunya, dan pemicu itu bernuansa provokatif. Konflik tersebut sepenuhnya merupakan produk dari pergaulan biasa sehari-hari antar manusia. Ini bukan reduksi. Seperti kita saksikan, sebabnya bisa sekedar karena merasa terganggu, adanya hujatan atas sistem kepercayaan yang dianutnya, hingga soal-soal eksklusivitas. Jelas ini berhubungan dengan soal ekspresi, bukan substansi, tidak lebih mendalam dari itu. Persis sama dengan kekerasan komunal lainnya yang bersumber dari isu ras, etnik dan ekonomi, yang pernah terjadi selama ini.

Memang dalam struktur konfliknya terdapat faktor yang bersifat latent, yakni perbedaan keyakinan. Namun, hal demikian jangan kemudian dijadikan dasar bahwa diantara mereka ada perbedaan tajam mengenai visi hidup bersama. Jangan diabaikan, bahwa keragaman keyakinan demikian sudah menjadi kenyataan hidup yang diterima oleh bangsa ini, bahkan telah berlangsung turun temurun. Prasangka yang muncul, yang secara teoritis disebut sebagai faktor pendorong konflik —karena di dalamnya aspek emosi memainkan peran dominan yang melahirkan syakwasangka—  bukan sepenuhnya dibentuk oleh perbedaan keyakinan. Ada faktor-faktor kondisional yang lebih memungkinkannya, yang bersumber dari gejala sehari-hari. Seperti, semakin melebarnya jarak sosial (social distance), melemahnya relasi  antar kelompok keyakinan agama, dan (ini yang lebih mendasar) tiadanya batas-batas yang jelas menyangkut hak-hak antar kelompok keyakinan agama itu. Celakanya, ketiga-faktor ini bekerja dalam ruang sosial dimana kebebasan yang dihayati oleh masyarakat (pasca reformasi ini), dan dalam pelaksanaannya selama ini, masih disertai immaturity atau ketidakmatangan. Maka dalam interaksi antar kelompok keagamaan yang muncul akan selalu diwarnai satu sama lain merasa selalu ada ancaman terhadap nilai, norma dan kepercayaannya; akibatnya mudah memicu  tindakan-tindakan liar.

Dengan sebab-sebab sosiologis sedemikian itu, maka sesungguhnya pula kasus  perusakan makam cucu Sri Sultan Hamengku Buwono VI,  Kiai Ageng Prawiropurbo —atau beberapa kasus serupa sebelumnya seperti perusakan tempat hiburan—  akarnya tidak bisa dialamatkan pada doktrin agama yang dianut oleh para pelakunya. Doktrin amal ma’ruf nahi munkar, yang menjadi alasan teologis tindakan agresif itu, ketika berubah menjadi doktrin kekerasan (perusakan makam atau tempat hiburan), jelas ada hubungannya dengan faktor-faktor kondisionalnya. Faktanya, golongan lain yang juga memegang teguh doktrin tersebut,  tidak melakukan hal serupa. Dengan demikian, untuk mencegahnya, yang dibutuhkan adalah kehadiran negara di tengah masyarakat. Tujuannya untuk memungkinkan segala hal yang bersifat kondisional menjadi terkelola. Itulah mengapa dalam Islam, seperti dikatakan Imam al-Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam as-Sulthaniyyah, adanya pemimpin (atau negara) adalah sebuah keharusan, yaitu untuk memungkinkan tegaknya keadilan dan kemaslahatan. Sekarang ini, kenyataannya, negara sepertinya absen atau tidak aktif hadir di tengah masyarakatnya. Bahkan, kesannya, segalanya seakan diserahkan sepenuhnya pada mekanisme demokrasi. Maka pada sisi ini tesis Neli Todorova di atas tampaknya mendapatkan pembenarannya. Penting diingat, tanpa ditegakkannya konstitusionalisme, sebagai wujud kehadiran negara di tengah masyarakat, demokrasi bisa berubah menjadi anarki.

Mengelola Kebebasan
Bagaimana kebebasan beragama semestinya dikelola? Jaminan konstitusi memang satu hal yang harus ada, dan konstitusi kita telah menjaminnya. Adalah salah jika implementasi dari amanat konstitusi tersebut bentuknya sekedar membebaskan saja warga negara untuk memeluk agamanya. Dalam konteks konstitusi itu, kebebasan (beragama) adalah sesuatu yang given, yang dengan sendirinya memang akan demikian, karena konstitusi mendeklarasikan seperti itu. Sedangkan kepada negara adalah mandat untuk menjamin kebebasan beragama itu menjadi kemestian.

Dengan mandat seperti itu, artinya negara harus aktif  hadir di tengah masyarakat untuk menjaga pelaksanaan kebebasan beragama. Secara konvensional dengan melakukan penindakan atas pelanggaran yang terjadi, dan pada derajat yang lebih maksimal melakukan tindakan preventif. Ini metode lama. Tetapi jika negara hanya menekankan pada tindakan yang disebut pertama, sementara yang kedua diserahkan sepenuhnya secara buta kepada rakyat  pada mekanisme demokrasi, maka hasilnya seperti selama ini: akan terus bermunculan dan saling susul menyusul kasus-kasus konflik dan kekerasan agama.

Saya kira konflik dan kekerasan komunal lainnya yang selama ini terjadi, termasuk maraknya kriminalitas, juga disebabkan faktor tersebut: kurang maksimalnya tindakan preventif. Perlu disadari bahwa negara bukanlah petugas pemadam kebakaran, baru bertindak ketika peristiwa terjadi; tetapi bahwa negara pada dirinya itu melekat tanggungjawab etis untuk menjaga agar kebakaran tersebut tidak pernah terjadi. Jika tidak, dan rasa aman hilang di tengah masyarakat, maka pada saat itu pula negara kehilangan kredibilitas dan legitimasi etisnya, sebab untuk tujuan etis itu negara didirikan.

Memaksimalkan tindakan preventif sebagai pilihan jelas tidak boleh mengandung ekses kontraproduktif terhadap tujuan-tujuan etis demokrasi. Sebaliknya, justru pada tumbuhnya kehidupan demokratis itu visi tindakan preventif harus diletakkan. Seperti inilah semestinya tindakan preventif itu dilakukan agar kita tidak mengulang sisi kelam sejarah masa lalu kita. Ini memang tidak mudah, dibutuhkan  paradigma baru dengan kepemimpinan yang memiliki kemampuan memahami kedalaman logika dan visioner dari setiap peristiwa dan tantangan bangsa ke depan, jika tidak ingin negeri ini terjatuh pada kebingungan, perpecahan dan anarkisme.

Dengan visi seperti itu, hal mendasar terhadap kebijakan tindakan preventif adalah sepenuhnya harus diorientasikan pada terjaganya ruang kebebasan beragama. Namun jangan diabaikan bahwa semua itu harus dilandaskan sesuai norma atas dasar bangunan masyarakat yang disusun sesuai rencana dan cita-cita komunitarian bangsa ini. Untuk maksud tersebut, pertama yang penting dilakukan adalah menghilangkan ancaman atas relasi yang dapat menghancurkan kepercayaan dan keadilan antar kelompok masyarakat. Maka, pada tingkat masyarakat, mempromosikan dan membangun kesepakatan membentuk code of conduct atau kode etik di antara kelompok/ormas agama dapat menjadi instrumen penting, terutama mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah keseharian tentang keberadaan masing-masing kelompok dan cara-cara dakwah. Melalui mekanisme ini, sebagian faktor pemicu konflik bisa kita hindarkan, dan dapat mengurangi munculnya tindakan-tindakan agresif atas nama agama. Dampak moralnya juga sangat besar, yakni munculnya sikap saling percaya. Yang lebih penting lagi, diharapkan tidak akan ada lagi kelompok-kelompok agama atau lainnya yang berusaha memainkan rasa ketakutan oleh kelompok lain untuk tujuan-tujuan politik keagamaannya, yang  dengan demikian berarti mengurangi resiko keamanan yang paling mendasar.

Forum-forum silaturahmi antar kelompok atau ormas agama sebaiknya diaktifkan kembali dengan agenda-agenda yang lebih kritis mengenai persoalan sehari-hari yang dihadapi oleh masing-masing ormas. Aparat pemerintah sebaiknya dilibatkan, terutama dari kementerian agama dan kepolisian. Jangan diartikan sebagai intervensi negara. Tetapi bahwa keterlibatan negara dalam forum seperti itu, justru diperlukan agar negara dapat melakukan peran preventif yang lebih aktif. Ini juga berarti kebebasan beragama tanpa regulasi negara akan menciderai agama itu sendiri, sebab melalui prasangka yang timbul akibat faktor-faktor kondisional yang berkembang, akan dengan mudah melahirkan chaos di tengah masyarakat. Oleh sebab itu dukungan terhadap  UU No. 1/PNPS/1965 maupun Pasal 156a RUU KUHP, sangat diperlukan. Jika tidak, akan menghadirkan ruang bebas tanpa aturan, sehingga konflik agama akan mudah pecah. Yang diperlukan dalam undang-undang itu adalah penjelasan clear cut atas terma penodaan agama, sehingga ia tidak menjadi “pasal karet” yang dapat disalahgunakan.

Menanamkan Nilai
Kita memiliki kultur mengapresiasi terhadap toleransi, kebebasan, dan menjunjung tinggi terhadap terjalinnya persahabatan yang mulia. Ungkapan Bhinneka Tunggal Ika  sangat jelas dimaksudkan sebagai pengakuan positif terhadap keragaman orientasi keagamaan dalam masyarakat. Tetapi mengapa justru dalam alam demokrasi sekarang ini nilai-nilai tersebut seakan hilang.
Masalahnya sangat jelas, bahwa liberalisasi yang dipercaya dalam reformasi sebagai jalan jitu menuju demokratisasi, telah mengakibatkan terdesaknya ide komunal, yang sebelumnya diagung-agungkan sebagai landasan bermasyarakat. Sementara itu, secara bersamaan nilai yang menjunjung tinggi individu sebagai warga negara yang berdaulat, juga ditempatkan secara kokoh di pusat kehidupan masyarakat sebagai jalan politis  baru, menggantikan nilai-nilai kebersamaan yang sebelumnya, dituduhkan, didefinisikan untuk kepentingan otoritarian. Akibatnya, suatu sifat individualisme mengikis cepat etika komunal, yang sebelumnya memang sudah berlangsung akibat modernisasi. Masyarakat kemudian meninggalkan teladan komunal yang luas, dan terlempar ke dalam pencarian keseimbangan baru dalam kelompok-kelompok agama atau organisasi kemasyarakatan lainnya, yang mampu memberi kehangatan maksimal dengan sentimen-sentimen baru. Pilihannya adalah pada kelompok-kelompok atau aliran keagamaan baru serta ideologi-ideologi politik lain yang lebih menjanjikan kehangatan dan semangat baru. Akibatnya, masyarakat terfragmentasi dalam persaingan ideologi dan keagamaan yang tinggi, yang tidak sehat karena penuh prasangka, yang bisa menjadi akar petaka bila tidak segera diantisipasi.

Langkah politik perlu dilakukan. Tetapi menanamkan nilai-nilai kebersamaan sebagai satu warga bangsa dan toleransi, menjadi lebih penting sebagai visi hidup bersama. Sama pentingnya adalah nilai-nilai keadilan, yang tidak sekedar menyangkut aspek pemenuhannnya, melainkan meliputi pentingnya menjaga  hak hidup bagi agama dan keyakinan semua golongan, sehingga masyarakat terhindar dari prasangka dan mendapatkan ketentraman. Tidak perlu mempromosikan teologi pluralisme, terutama dari ide John Hick (1987) yang menempatkan agama-agama secara teologis sebanding, sebab prakteknya justru kantraproduktif, karena sebagian golongan, terutama Islam, memandangnya sebagai “pemurtadan”. Ini bukan dasar dan nilai yang baik untuk membentuk persaudaraan berdasarkan kebangsaan yang dilandasi oleh kebudayaan ensiklopedis seperti bangsa Indonesia ini.  Dan atas dasar itu pula Ki Hadjar Dewantara dan KH Wahid Hasyim bersepakat meletakkan nilai-nilai kebudayaan dan agama sebagai landasan sistem pendidikan Indonesia.

Kita memiliki landasan genuin dan indigenous dalam ungkapan Bhinneka Tunggal Ika. Ungkapan ini jangan dibiarkan berkembang menjadi kultus. Ungkapan ini lebih sesuai sebagai dasar membangun persaudaraan bangsa Indonesia karena sesuai dengan  unit dasar masyarakatnya yang terdiri dari kelompok-kelompok suku dengan kelompok-kelompok agamanya. Tetapi implementasinya perlu direvitalisasi dalam bentuk nilai-nilai yang dapat menjadi energi penting untuk merajut kelompok-kelompok tersebut dalam satu masyarakat bangsa dan mereorientasi kehidupan bermasyarakat pada tingkat yang lebih mendasar, yaitu pada tujuan kebangsaan. Jangan sampai reformai gagal menghasilkan kebaikan bagi masyarakat.

Penutup
Penting digarisbawahi bahwa  agama, apapun agamanya dan apapun alirannya, memiliki kepentingan terhadap soal kebebasan. Kebebasan  dan perlindungan HAM sebagai satu paket,  justru penting untuk melindungi agama atau aliran agama itu sendiri, melindungi kemanusiaan, mencegah munculnya penguasa zalim, dan menegakkan keadilan, yang semua itu menjadi misi penting agama.
Sekedar catatan untuk kepentingan umat Islam, dengan kebebasan beragama dan diberlakukannya perlindungan HAM, seperti di negara-negara Barat, umat Islam di sana justru tumbuh dan terlindungi. Bandingkan dengan masa sebelumnya, pada abad ke 15, ketika Eropa dilanda ortodoksi yang kejam dan sikap toleransi dianggap tidak sesuai dengan ajaran Kristen. Saat itu, dalam tempo dua belas tahun sebanyak 13.000 orang mati sebagai korban Inkuisisi, sebagian besar kaum Yahudi. Dan pada tahun 1499 di Spanyol, setelah jatuhnya Granada, umat Islam diberi pilihan yang sama: dibaptis  atau pengusiran (Karen Armstrong, 1998). Itu pelajaran berharga bahwa menjaga kebebasan beragama adalah fundamental; sementara konstitusionalisme dan HAM adalah instrumen penting guna melindungi status dan hak warga negara dalam beragama, termasuk bagi umat Islam beserta semua alirannya.


AS’AD SAID ALI*
*Wakil Ketua Umum PBNU

sumber ; nu.or.id

Tidak ada komentar:

Pages