Saya: “Aba, saya ini pencinta Nabi. Tetapi hingga saat ini saya masih bingung bagaimana cara merindukan beliau. Jika saya merindukan istri, saya membayangkan wajahnya: bibirnya, tubuhnya, tangannya atau kakinya. Terus, bagaimana dengan Nabi? Saya tak tahu wajahnya.”
Aba: “Sesungguhnya pertanyaanmu menunjukkan dua hal. Pertama, kemampuanmu mencintai terbatas hanya pada hal-hal material, konkrit, dapat diraba, dapat dilihat. Keindahan bagimu terdapat pada penampakan fisik semata. Kamu suka lautan karena luasnya dan kedalamannya, bukan karena ketenangan dan fenomenanya. Kamu suka makan cokelat bukan karena manfaatnya melainkan karena kelezatannya. Akhirnya kamu menjadi orang yang suka bahkan terpesona pada bentuk-bentuk luar saja.
Jika berprinsip demikian, maka akhirnya dalam agama pun kesalihan kamu ukur dari gambaran lahiriah seperti pakaian dan gerakan shalat. Dalam berdoa kamu hanya memohon kekayaan yang luas, umur panjang, atau anak-anak (buah) yang banyak. Dalam politik kamu hanya mengutamakan pestanya ketimbang demokrasinya, pemilihannya ketimbang umumnya, dewan perwakilannya ketimbang rakyatnya. Dalam bercinta kamu mendahulukan hubungan biologis dan mengesampingkan hubungan psikologis. Sehingga, kamu pun terpenjara oleh karena hal-hal sensual yang membuatmu kehilangan kepekaan pada stimulus ruhaniah. Kamu tak mampu lagi mendengar suara batinmu, apalagi jeritan hati orang lain. Kamu tidak arif lagi menangkap isyarat-isyarat halus yang diungkapkan dalam fenomena kehidupan.
Kedua, cinta sensual menunjukkan tahap perkembangan kejiawaan yang paling rendah. Jika kita hanya dapat melakukan salat yang khusyuk dengan membayangkan Tuhan dalam benak kita, atau hanya bisa mencintai Nabi saw. dengan mengimajinasikan ketampanan wajahnya, kita belum bergerak dari tahap kekanakan, bahkan tak jauh beda dengan hewan.
Nah, untuk mencintai Nabi kamu jangan menggunakan gaya cinta sensual, yakni cinta yang ditandai dengan keinginan memiliki, menuntut, merengek bahkan mendesak. Sebab tingkatan cinta seperti ini hanya tahu mengambil, bukan memberi. Mana mungkin kecintaanmu kepada beliau disamakan dengan kecintaanmu kepada istri? Yang harus kamu bayangkan bukan citra fisiknya, malainkan keagungan pribadinya. Pertama-tama, gerakkanlah dirimu dari cinta sensual menjadi cinta luhur yang tumbuh dari persahabatan mendalam. Kamu harus belajar menggambungkan dirimu secara rohaniah dengan Nabi Muhammad saw. para nabi, dan orang-orang salih.
Pernahkah kamu mendengar firmah Allah Swt.; ”Telah datang kepadamu seorang Rasul dari antara kamu. Berat baginya apa yang kamu derita, sangat ingin agar kamu mendapat kebahagiaan. Ia sangat pengasih dan penyayang kepada orang-orang beriman” (QS Attaubah: 128). Inilah cinta luhur dari Rasulullah. Ia membasahi janggutnya dengan air matanya karena memikirkan derita umat sepeninggalannyanya, yang merebahkan dirinya di atas tanah dan tidak mengangkatnya sebelum Allah mengizinkannya untuk member syafaat kepada umatnya, yang suka dukanya terpaut dengan umat yang dipimpinnya.
Taufik Bilfagih.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar