Catatan A. Umar Said

Tentang Bung Karno dan Suharto

dan 17 Agustus 45

Dalam memperingati HUT Kemerdekaan (17 Agustus) yang ke-62, kiranya banyak
sekali soal-soal serius atau masalah-masalah besar yang patut kita
renungkan bersama. Sebab, selama 62 tahun, rakyat dan negara kita telah
mengalami banyak sekali peristiwa besar dan berbagai situasi penting - yang
positif maupun negatif - yang akan tercatat selamanya dalam sejarah bangsa.

Perlulah kiranya terlebih dulu diingat oleh kita semua bahwa selama umur
Republik Indonesia yang 62 tahun itu separonya – presisnya 32 tahun – negara
dan rakyat kita ada di bawah cengkeraman diktatur militer Orde Baru.
Sekarang makin jelas bagi banyak orang bahwa 32 tahun Orde Baru di bawah
pimpinan Suharto dan konco-konconya, merupakan bagian dari sejarah Republik
Indonesia yang paling gelap dan paling pengap selama ini ( bahkan, mungkin
juga yang paling hitam sepanjang masa!)

Berlainan dengan periode antara 1945 sampai 1965 (selama 20 tahun) di bawah
pimpinan Presiden Sukarno, yang merupakan periode yang bisa dibanggakan oleh
bangsa Indonesia sebagai periode revolusi merebut kemerdekaan, dan
perjuangan menentang neokolonialisme dan imperialisme (terutama AS), dan
pemupukan solidaritas rakyat-rakyat Asia-Afrika, maka periode 1966-1998
(selama 32 tahun) di bawah pimpinan Jenderal Suharto adalah kebalikannya
sama sekali.

Perbedaan sosok Bung Karno dan Suharto

Para pengamat politik yang berpandangan objektif dan jernih, dan para
sejarawan yang bersikap jujur, tentunya melihat perbedaannya yang jauh dan
besar sekali antara Republik Indonesia di bawah pimpinan Bung Karno dan
Republik Indonesia di bawah Orde Baru atau rejim militer Suharto. Dan
demikian juga kiranya, semua orang yang mendambakan terciptanya masyarakat
adil dan makmur dan persatuan bangsa tentunya melihat juga jauhnya perbedaan
antara sosok yang agung dari Bung Karno sebagai bapak bangsa - dan pejuang
besar serta pemimpin rakyat - dibandingkan dengan sosok yang rendah dan
kerdil sekali dari Suharto.

Kalau kita renungkan dengan dalam-dalam, dan kita pelajari sejarah bangsa
dengan baik-baik, maka nyatalah bahwa Bung Karno adalah satu-satunya
pemimpin bangsa yang sampai sekarang ini paling besar jasanya kepada rakyat
dan bangsa Indonesia, dan paling unggul dalam banyak hal, dibandingkan
dengan pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya. Ini kelihatan jelas sekali
kalau kita kaji kembali – dengan baik-baik dan dengan fikiran yang jernih
dan hati yang jujur – sejarah perjuangan rakyat kita sejak lahirnya Budi
Utomo sampai dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal
17 Agustus 45. oleh Sukarno-Hatta.

Siapa saja yang mempelajari –secara objektif dan menyeluruh -- sejarah
perjuangan bangsa sampai tercapainya kemerdekaan akan melihat dengan jelas
bahwa Bung Karno-lah yang sejak mudanya sebagai mahasiswa sudah menunjukkan
dengan nyata tekadnya untuk mempersatukan perjuangan bangsa. Dalam usia
mudanya ini ia belajar politik dari perjuangan pemimpin besar Sarekat Islam
Haji Oemar Said Tjokroaminoto.

Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme

Adalah sangat menarik sekali untuk dicatat bahwa dalam usia sekitar 25 tahun
ia telah membuat (dalam tahun 1926) satu tulisan yang sangat panjang dan
bagus sekali, yang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Dari
tulisan yang sangat panjang ini kelihatan dengan jelas sekali bahwa sejak
usianya yang semuda itu Bung Karno sudah mempunyai gagasan-gagasan besar
atau pandangan jauh tentang pentingnya persatuan perjuangan di antara
golongan nasionalis, golongan Islam dan golongan Marxis di Indonesia.

Tulisan yang merupakan dokumen politik yang bersejarah ini, yang aslinya
dimuat dalam Suluh Indonesia Muda dalam tahun 1926, dapat dibaca sekarang
oleh siapa saja dalam buku Dibawah Bendera Revolusi jilid pertama. Dalam
tulisan panjang yang terdiri dari 23 halaman ini Bung Karno telah
menuangkan prinsip-prinsip besar gagasannya mengenai persatuan bangsa. Dari
tulisan yang dibuatnya dalam usia semuda itulah kita semua bisa melihat
dengan jelas pendiriannya tentang pentingnya persatuan (atau kerjasama)
antara nasionalisme, Islamisme dan Marxisme dalam perjuangan rakyat di
Indonesia melawan kolonialisme dan imperialisme.

NASAKOM dan Indonesia Menggugat

Rupanya, pandangannya yang ini jugalah yang sejak itu menjadi pembimbing
utama sepanjang perjuangannya dalam memimpin gerakan bangsa Indonesia menuju
kemerdekaan, sampai proklamasi 17 Agustus 45 dan, juga, sesudah berdirinya
Republik Indonesia. Bahkan, ketika Republik Indonesia mengalami berbagai
gangguan dari fihak kolonialisme dan imperialisme (Belanda, Inggris, dan AS
terutama) Bung Karno dengan gigih dan teguh tetap berusaha bersikap setia
kepada gagasan-gagasan besar yang sudah dimilikinya sejak umur sekitar 20
tahunan. Ini kelihatan nyata sekali dalam sikapnya menghadapi DI-TII, RMS,
PRRI-Permesta, perjuangan merebut kembali Irian Barat dll dll.

Dengan membaca tulisannya Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme ini, dan juga
banyak tulisan atau pidato-pidatonya lainnya yang terkumpul dalam dua jilid
buku Dibawah Bendera Revolusi, maka kita akan mengerti mengapa ia mengatakan
dirinya sebagai seorang Muslimin yang sosialis, atau seorang nasionalis yang
berpandangan Marxis atau seorang yang berhaluan-fikiran Marxis sekaligus
juga nasionalis dan Muslim. Dengan mengkaji dalam-dalam berbagai tulisan,
pidato dan ucapannya, kita juga akan memahami bahwa konsepsi politik Bung
Karno mengenai NASAKOM adalah perealisasian atau pelaksanaan dari
gagasan-gagasan besarnya sejak muda belia. (Tentang hal-hal ini masih banyak
sekali yang bisa ditulis di kemudian hari dan dikaji bersama-sama) .

Kehebatan lainnya Bung Karno sebagai orang muda yang revolusioner juga
kelihatan dalam pidato pembelaannya (tahun 1930) di depan pengadilan
kolonial Belanda ketika ia dituduh melakukan pembrontakan terhadap kekuasaan
penjajah Belanda. Pidatonya yang berjudul Indonesia Menggugat ini menjadi
sangat terkenal dan merupakan dokumen politik monumental dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia. Karena, dalam pidato pembelaannya ini tidak
saja ia mengecam habis-habisan kolonialisme dan imperialisme, tetapi juga
menyerukan perlawanan terhadap penjajahan bangsa kita pada waktu itu.

Bung Karno dan 17 Agustus 45 adalah satu

Oleh karena itu, bagi kita semua yang peduli akan sejarah bangsa, ketika
kita sedang menyongsong perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, tidak bisa
tidak ingatan kita pasti melayang juga kepada tokoh besar bangsa yang
bernama Sukarno ini. Sebab, nama Sukarno tidak bisa dipisahkan dari 17
Agustus 1945. Atau, dalam kalimat yang lain, Sukarno dan 17 Agustus 1945
adalah satu. 17 Agustus adalah perwujudan dari hasil perjuangan yang puluhan
tahun yang dilancarkan Bung Karno sebagai pimpinan gerakan nasional untuk
kemerdekaan. Itulah sebabnya maka Bung Karno telah mendapat persetujuan
bersama dari banyak golongan untuk (bersama-sama dengan Bung Hatta)
memproklamasikan kemerdekaan, atas nama seluruh bangsa Indonesia.

Tetapi, kita semua yang mengikuti dengan teliti berbagai perkembangan
sosial-politik di Indonesia akan melihat dengan gamblang bahwa sejak Suharto
melakukan pengkhianatan besar-besaran terhadap Bung Karno, maka bangsa
Indonesia kehilangan pemimpin besarnya, kehilangan guru bangsanya,
kehilangan pemersatu bangsanya. Perkembangan selama 62 tahun Republik
Indonesia menunjukkan dengan jelas sekali bahwa tidak ada pemimpin Indonesia
yang mempunyai ketokohan seagung atau setinggi Bung Karno. Sekarang ini
makin kentara dengan jelas, bahwa walaupun sudah dikhianati oleh Suharto,
Bung Karno masih tetap dipandang oleh banyak orang sebagai tokoh terbesar
bangsa, yang tidak ada tandingannya, sampai sekarang.

Seperti yang bisa kita amati bersama-sama, dengan mengkhianati Bung Karno,
Suharto (dan konco-konconya, baik yang dalamnegeri maupun yang luarnegeri)
telah menterlantarkan hasil-hasil besar revolusi, menghancurkan cita-cita
para perintis kemerdekaan, memporak-porandakan jiwa revolusioner bangsa,
merusak dan membusukkan Republik Indonesia. Dengan mengkhianati Bung Karno
dan menghancurkan kekuatan pendukung politiknya (yang terdiri dari golongan
kiri, dan terutama dari kalangan PKI), maka Suharto telah menyatukan diri
dengan musuh bebuyutan rakyat Indonesia sejak lama, yaitu imperialisme.

Pengkhianatan Suharto terhadap Bung Karno

Oleh karena itu, kalau kita bicara tentang 17 Agustus, maka otomatis kita
akan ingat kepada jasa-jasa besar Bung Karno. Dan ketika ingat kepada
keagungan Bung Karno terpaksalah kita ingat juga kepada pengkhianatan
Suharto (dan konco-konconya) . Sebab, dengan mengkhianati Bung Karno dan
menggulingkannya dari kekuasaan politiknya, Suharto telah membikin mandegnya
revolusi bangsa Indonesia, serta membuat berbagai kerusakan berat atau
penyakit besar dalam tubuh bangsa dan negara Republik Indonesia. Akibat
kerusakan dan pembusukan dalam tubuh bangsa dan negara kita ini sampai
sekarang masih kita warisi di banyak bidang.

Mungkin sekali, lima sampai sepuluh generasi bangsa kita yang akan datang
akan mencatat bahwa pengkhianatan Suharto terhadap Bung Karno adalah
peristiwa bersejarah yang akibat negatifnya sangat besar sekali bagi bangsa
dan Republik Indonesia. Sebab, dengan pengkhianatan Suharto terhadap Bung
Karno itu telah dibangun Orde Baru. Dan kita semua mengalami atau
menyaksikan bahwa masa Orde Baru (1966-1998) adalah periode yang paling
buruk yang dialami bangsa Indonesia. Kiranya, tidak salahlah kalau di
kemudian hari akan ditulis oleh para sejarawan atau berbagai pakar bahwa
periode Orde Baru adalah periode yang banyak menimbulkan pembusukan,
kerusakan, dan kebobrokan, yang menyebabkan berbagai penderitaan dan
penyiksaan bagi banyak sekali orang.

Karena, selama masa Orde Baru yang sangat panjang itu ratusan juta rakyat
Indonesia “dikerangkeng” - dengan cara-cara yang bengis dan kejam
sekali -- oleh golongan militer (terutama TNI-AD) yang jumlah
total-jenderalnya tidak sampai satu juta orang. Para pendiri Orde Baru
telah membikin terbunuhnya jutaan orang tidak bersalah, juga membikin
terpenjarakannya ratusan ribu orang kiri dalam jangka waktu yang lama
sekali. Kira-kira 20 juta orang anggota keluarga (dekat dan jauh) para
korban Orde Baru telah dibikin menderita puluhan tahun oleh berbagai macam
perlakuan, sampai sekarang.

Sukarno sejajar dengan pemimpin-pemimpin dunia

Bagi mereka yang banyak membaca dan mempelajari sejarah berbagai bangsa di
dunia akan bisa melihat bahwa keagungan sosok dan citra Bung Karno itu
sejajar dengan keagungan sosok pemimpin-pemimpin besar lainnya seperti Sun
Yatsen, Mao Tsetung, Chou Enlai, Ho Chiminh, Jawaharlal Nehru, Abdul Gamal
Nasser, Joseph Bros Tito, Che Guevara, Ernest Mandela. Dan sebaliknya,
mereka juga bisa melihat kekerdilan sosok Suharto dan kerendahan moralnya
yang sejajar dengan “pemimpin-pemimpin” korup seperti Marcos, Chiang
Kaishek, Lon Nol, Mobutu, Caucescu, Pinochet, dan sebangsanya lainnya.

Kehebatan atau keunggulan Bung Karno dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin
Indonesia lainnya adalah banyak sekali. Bukan saja adalah seorang
intelektual yang banyak membaca buku politik dan sejarah berbagai bangsa di
dunia, ia adalah seorang yang bisa membuat tulisan dengan bahasa dan gaya
yang menarik. Ia mahir dalam menggunakan bahasa Indonesia secara bagus
sekali, tetapi juga lancar sekali berbahasa Belanda, Inggris, dan menguasai
bahasa Jerman dan bahasa Perancis walaupun serba sedikit. Bukan saja bahwa
ia pandai berpidato dengan cara yang bisa “menghanyutkan” perasaan dan
fikiran banyak orang, tetapi juga isinya yang dalam. Tetapi, di atas
segala-galanya, Bung Karno besar dan unggul tinggi sekali berkat rasa
pengabdiannya kepada kepentingan rakyat banyak, dan karena “gandrungnya”
terhadap persatuan bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, ketika kita semua sedang menyongsong Hari Kemerdekaan 17
Agustus, dan mengingat akan segala kebesaran dan keunggulan Bung Karno
sebagai pemimpin sejati bangsa Indonesia, maka kelihatan jugalah, sebagai
kontrasnya, kekerdilan sosok Suharto. Kekerdilan Suharto dibandingkan dengan
keagungan Bung Karno, bukan saja karena Suharto adalah serdadu kolonial KNIL
waktu mudanya, melainkan juga karena kerendahan moralnya. Bukan saja ia
adalah diktator yang dengan tangan besi sudah membikin “pengap” seluruh
Indonesia selama 32 tahun, ia juga ternyata adalah maling terbesar dalam
sejarah Republik Indonesia.

Kekerdilan sosok Suharto

Kekerdilan sosok Suharto dan kerendahan moralnya juga nampak dengan jelas
kalau kita ingat bahwa Bung Karno wafat ketika ia menjadi “tahanan” dalam
keadaan sakit dan tidak punya apa-apa, karena ia tidak mau menumpuk
kekayaan baginya dan keluarganya. Kita bisa bandingkan dengan Suharto yang
walaupun sudah di-“lengserkan” oleh generasi muda dari jabatannya dalam
tahun 1998, sekarang ia masih bisa hidup dengan segala kemewahan dan
kemegahan dari uang haram yang dicurinya secara besar-besaran dari rakyat
dan negara.

Dengan banyaknya berita tentang berbagai kasus korupsi yang dilakukan
Suharto yang melibatkan jumlah sampai triliunan Rupiah, dan juga besar dan
luasnya jaring-jaringan gelapnya di dalamnegeri maupun luarnegeri, maka
sudah makin jelas dan nyatalah sekarang bagi banyak orang bahwa Suharto
adalah bukan saja pengkhianat terhadap Bung Karno dan rakyat Indonesia,
melainkan juga penjahat atau maling besar, yang merupakan sampah bangsa.
Dalam buku sejarah bangsa Indonesia, perlulah kiranya ditulis nantinya bahwa
Suharto bukanlah orang yang pernah berjasa bagi bangsa. Melainkan, bahwa
Suharto adalah “tokoh” negatif bangsa, yang telah mendatangkan banyak
kerusakan besar dan pembusukan parah bagi rakyat, bangsa dan negara Republik
Indonesia.

Besarnya kerusakan dan parahnya pembusukan yang sudah ditimbulkan Suharto
dengan Orde Barunya kelihatan juga dari banyaknya persoalan parah yang
dihadapi bangsa dewasa ini di bidang politik, sosial, ekonomi dan moral,
sebagai warisan yang diteruskan oleh berbagai pemerintahan yang silih
berganti sejak 1998.

Indonesia membutuhkan pimpinan sekaliber Bung Karno

Dalam kaitan ini, adalah hal yang amat menyedihkan dan memprihatinkan bahwa
sesudah 62 tahun merdeka, di Republik Indonesia masih terdapat 13 juta
anak-anak yang kurang makan dan kelaparan, di samping adanya pengangguran
sekitar 40 juta orang. Keadaan yang menyedihkan ini ditambah lagi dengan
adanya lebih dari 40 juta orang miskin, dan sekitar 100 juta orang yang
hidupnya kurang dari 2 dollar US sehari. Yang juga amat perlu disesalkan dan
diprihatinkan adalah merajalelanya korupsi di segala bidang dan di segala
tingkatan , yang mencerminkan kerusakan moral atau kebejatan akhlak yang
melanda seluruh bangsa secara ganas.

Semuanya ini menunjukkan bahwa bangsa kita dan Republik Indonesia sudah
sangat membutuhkan adanya pimpinan yang sekaliber dan setulus Bung Karno,
yang mampu mempersatukan bangsa atas dasar-dasar Bhinneka Tunggal Ika (yang
sungguh-sungguh) , Pancasila (juga yang sungguh-sungguh) . Bangsa kita
memerlukan munculnya seorang pemimpin yang mampu membikin gagasan-gagasan
besar seperti yang sudah dituangkan dalam dua jilid buku Dibawah Bendera
Revolusi.

Sekarang dapatlah kiranya dinyatakan dengan tegas bahwa Republik Indonesia
dan bangsa Indonesia tidak membutuhkan sama sekali orang-orang sekaliber dan
sejenis Suharto, yang dari pengalaman sudah terbukti tidak mendatangkan
kebaikan sama sekali, melainkan kebalikannya.

Tidak ada komentar:

Pages