Kekuasaan

POLITIK DAN KEKUASAAN
(Kado Buat Calon Pemimpin Kaltim)

Oleh : Taufik bill Fagih*

Keadaan Politik dan Kekuasaan
Politik secara sederhana adalah segala hal yang berkaitan dengan permainan kekuasaan. Sebagai politikus, pekerjaan seseorang hanya dua: menghimpun kekuasaan dan menggunakan kekuasaan. Ketika Kita rajin mengunjungi orang-orang yang berpengaruh dan melakukan negosiasi dengan mereka, Kita sedang menghimpun kekuasaan. Ketika Kita menyingkirkan lawan Kita dengan memanipulasikan wewenang yang Kita miliki, Kita sedang menggunakan kekuasaan.
Banyak orang mengira bahwa politik hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu saja: anggota parpol, calon anggota DPR, dan pejabat. Menjelang pemilu, kita sering mendengar ucapan “Suhu politk meningkat”, seperti yang sedang memanas di arena Pilgub Kaltim saat ini. Dan karena politik kotor, maka kegiatan politik tidak boleh dilakukan di tempat-tempat suci seperti masjid, gereja; juga tempat-tempat belajar seperti universitas. Pasar (kecuali supermarket modern) adalah tempat kotor, karena itu disana Kita boleh berpolitik, misalnya politik dagang sapi. Bila Kita berpolitik di kantor, Kita mencemari kantor, atau kantor Kita kotor.
Politik sebenarnya tidak kotor, dan kekuasaan tidak selalu berkaitan dengan politik – kata pengamat psikolog sosial. Setiap orang terlibat dalam permainan kekuasaan. Ketika Kita berhubungan dengan orang lain, Kita bersaing dalam menggunakan kekuasaan. Bahkan kekuasaan itu fitrah, kebutuhan manusia yang harus dipenuhi. Manusia selalu merindukan dan mencari kekuasaan. David McClelland (biasanya mereka yang duduk di bidang pendidikan sangat mengenal orang ini) menyebut tiga kebutuhan sosial yang menggerakkan manusia; kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan untuk berprestasi, dan kebutuhan akan kekuasaan. Tingkat kebutuhan ini pada setiap orang berbeda-beda. Bila kebutuhan akan kasih sayang sama tingginya dengan kebutuhan akan kekuasaan, Kita bisa gila. Ketika mengejar kekuasaan, Kita harus “tega-tegaan”. Sebaiknya Kita memperkecil kebutuhan akan kekuasaan dan mempertinggi kebutuhan akan kasih sayang. Namun resikonya Kita harus kehilangan karir Kita. Maka jadilah pendeta atau kiai.

Arus Kekuasaan
Ada enam macam kekuasaan. Pertama, kekuasaan koersif. Kita memiliki kekuasaan ini bila orang menganggap Kita mempunyai kemampuan untuk mendatangkan hukuman atau ganjaran. Untuk menggunakan kekuasaan ini, Kita harus selalu mengawasi prilaku orang lain. Kedua, kekuasaan informasi. Kita berkuasa terhadap orang lain, karena Kita memiliki informasi yang diperlukan orang tersebut. Tetapi ketika informasi itu telah diketahui orang lain, maka Kita kehilangan kekuasaan itu. Ketiga, kekuasaan referent. Kita berkuasa terhadap orang lain, karena orang tersebut mengidentifikasikan dirinya dengan Kita; karena ia ingin seperti Kita, karena Kita adalah idolanya. Kekuasaan ini timbul karena rasa hormat (kekuasaan macam ini biasanya dimiliki oleh kalangan selebriti dan orang yang dianggap menarik perhatian; ‘fans’). Keempat, kekuasaan legitimet. Kita berkuasa karena Kita mempunyai hak istimewa yang diberikan oleh konvensi, tradisi, atau adat kebiasaan. Secara konvensional, Pak Kades (kepala desa) mempunyai kekuasaan. Ia, misalnya, boleh mengubah batas-batas tanah masyarakat untuk kepentingan pembangunan. Kelima, kekuasaan ahli. Kita memiliki kekuasaan terhadap orang lain, karena Kita memiliki keahlian yang sangat diperlukan orang lain itu untuk mencapai tujuannya. Kita menjadi sumber bantuan bagi orang lain. Keenam, kekuasaan negatif. Yang ini jarang dicari tapi sering terjadi. Bush “memuji-muji” Osamah bin Laden supaya orang Islam memerangi Osamah dengan dalih perang atas terorisme. Kita menganjurkan kepada orang lain perbuatan yang sebaliknya dari apa yang Kita anjurkan. Kita menyuruh orang lain berlaku sederhana agar mereka berlomba dalam kemewahan hidup. Aneh tapi nyata.

Tentang Pemimpin
Hampir bisa dipastikan kehadiran pemimpin yang mempunyai kepiawaian lebih dalam mengatur ‘organisasi’ sangat diperlukan. Menghadapi tantangan dan kompetisi yang sengit, dibutuhkan sikap dan perilaku pemimpin yang mempunyai kualitas unggul dalam mengembangkan manajemen sebuah wilayah. Dia juga harus mampu memperlihatkan ide-ide cemerlang serta membawa konsep inovasi dan kreativitas baru bagi wilayah kekuasaannya. Untuk itu ada tiga unsur pokok yang harus ditanamkan bagi roda kepemimpinan. Pertama, profesionalitas. Pengalaman hidup seseorang sangat berperan penting untuk melahirkan profesionalitas kerjanya. Karena, sedikit banyaknya ia akan belajar dari sejarah kehidupannya. Sehingga ia-pun siap untuk membawa tabuk kepemimpinan yang kokoh. Kedua, proporsional. Dalam management, kepemimpinan harus ditempati oleh mereka yang memiliki skill memimpin sesuai dengan profesinya masing-masing. Oleh karena itu, pemimpin dituntut agar dapat memberikan posisi yang concern bagi anggota-anggotanya. Dengan demikian job discription masing-masing personel akan terrealisasi dengan baik. Sedangkan yang ketiga, dalam rangka mencapai sebuah kepemimpinan yang professional dan proporsional, maka yang harus ditekankan adalah niat dari setiap pemimpin. Arah gerakan, orientasi dan tujuan sebuah wilayah sangat berpengaruh dengan niat para pejabatnya. Sejauh mana mereka akan membawa daerah kekuasaannya sesuai dengan visi dan misinya. Mudah-mudahan pemimpin Kaltim tidak memiliki kekuasaan seperti yang terakhir (kekuasaan negatif). Kaltim butuh pemimpin yang berkuasa dengan rasa kasih sayang. Yang bukan memanfaatkan kekuasaannya sebagai moment untuk memperkaya diri sendiri. Bukan yang menghambur-hamburkan senyum ala baliho namun ketika duduk di kursi ‘panas’ justru membakar hati rakyatnya. Kita tunggu kiprahnya. Wallahu ‘alam …
*Aktifis PMII Kaltim (Kandidat Ketua Umum PC.PMII Samarinda 2008-2009). Mahasiswa STAIN Samarinda smtr. VII.
(oepick_bill@yahoo.co.id/www.billfagih.blogspot.com/085256114362)

Tidak ada komentar:

Pages