Merebut Mandat Sejarah

TOR (Term Of Reference)

Seminar dan Diskusi Panel;

“MEREBUT MANDAT SEJARAH; DARI LOKAL, MENATA GERAK,
MENYONGSONG 100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL”


I. Alas Pikir

Nasionalisme kita adalah ’state-led nationalism’. Semacam nasionalisme yang dibangun dari atas, dan lalu meluncur ke bawah....dan Indonesia sesungguhnya adalah proyek yang belum final.


Tepat 100 tahun sudah sejarah “resmi” mencatatkan perjalanan kebangkitan nasional. Suatu kesadaran historis akan mandat sejarah yang diemban kaum pergerakan bagi cita-cita kemerdekaan sejati. Bermula dari politik etis awal abad 19, telah menjadi medium bagi mengecambahnya kesadaran perlawanan terhadap imperialis yang acap dikenal sebagai nasionalisme [Benedict Anderson; Imagined Society; 1999]. Lepas dari ambiguitasnya, Kini genap 100 tahun nasionalisme hadir sebagai sebuah ideology menjadi pandu mengada-nya Negara-Bangsa ini.

Model State-led nationalism, menjadi faktor dibalik gagalnya nasionalisme sebagai pandu bangsa ini. Model ini meniscayakan dominasi state atau Negara yang selalu menerjemahkan nasionalisme sesuai nalar status-qionism. Suatu model konsep nasionalisme yang dicetak dan dikendalikan dari atas dan sentarlistik lalu diluncurkan kebawah. Model state-led nationalism ini pula yang membuat nasionalisme sebagai sebuah proyek bersama (common project) mengalami stagnasi pasca revolusi kemerdekaan. Sukarno mungkin benar ketika ia memproklamirkan bahwa proyek bersama pasca revolusi 1945 adalah bagaimana membangun sesuatu yang disebut “national character building” dengan melibatkan dan mendamaikan nasionalis sekuler, yang diwakili kaum nasionalis dan komunis, serta nasionalis-religius diwakili kelompok agama. Tetapi, gesekan politik kaum nasionalis, agama dan komunis, yang oleh Sukarno dianggap sebagai pemilik saham sah dari revolusi Indonesia itu, gagal dipersatukan di bawah proyek ’Nasakom’. Obsesi persatuan ini sudah dirintisnya sebelum Indonesia merdeka, lewat tulisan ”Nasionalisme, Islam dan Marxisme” pada 1926. Tetapi, pada akhirnya konflik itu berujung dengan tragedi nasional, pembantaian anak bangsa sendiri pada 1965.

Alih-alih terkonstruksinya proyek “nation character building”, sejarah nasionalisme kita terseret dalam arus Perang Dingin, dimana ”Indonesia-nya Sukarno” tampak ”kekiri-kirian” di mata Amerika Serikat. Indonesia lalu menjadi ancaman bagi hegemoni sekutu di kawasan Asia Pasifik. Atau, setidaknya menganggu ”Doktrin Truman” yang sedang menjalankan strategi ’containment’ atas pengaruh komunisme Soviet dan China di Asia. Terlebih lagi, Bung Karno merumuskan politiknya sebagai ”anti nekolim”, yang membuatnya dekat dengan blok Timur dan sejalan dengan PKI. Kita ingat slogan nasional waktu itu adalah ”Inggris kita Linggis, Amerika kita Setrika”.

’mitos pengalaman perang’ pada masa sebelumnya dipakai kembali untuk mobilisasi militer, dengan mencanangkan program konfrontasi dengan Malaysia dan Pembebasan Irian Barat. Di luar kontroversi politik saat itu, harus diakui ’perang melawan nekolim’ itu telah memberi kontribusi bagi pembentukan nasionalisme Indonesia. Sukarelawan mengalir dari berbagai penjuru untuk berkorban bagi ’proyek bersama’ melawan nekolim, dan untuk sejenak melupakan perkara Demokrasi Terpimpin.

Tetapi, seperti halnya takdir nasionalisme yang memiliki ”wajah Janus’, nasionalisme saat itu juga mempunyai watak ganda. Ke arah luar, nasionalisme Indonesia tampak progresif, namun menghadapi urusan politik domestik dia menjadi konservatif. Pemberontakan daerah selama dasawarsa 1950an, telah membuat ’proyek bersama’ itu semakin terpecah, antara Indonesia yang ’kiri’, dan kekuatan anti-Sukarno. Dia berlangsung di tengah ketidakpuasan daerah atas politik pusat, dan ekonomi nasional yang morat-marit. Tentu, dalam pendulum politik masa itu, semua kritik atas perjuangan nasional anti-nekolim, dengan sendirinya menjadi ’kanan’.

Kegagalan ’Nasakom’, dan berakhirnya rezim Sukarno dengan tragedi nasional berdarah 1965, telah memberi jalan bagi Jenderal Suharto memulai apa yang disebutnya sebagai ”Orde Baru”, dan menafsirkan nasionalisme dengan corak sentralisme birokratik yang jauh lebih ekstrim dari masa sebelumnya. Dengan legitimasi memulihkan stabilitas nasional, orde itu mempunyai dua ciri pokok, yaitu secara ekonomi membuka kran modal asing, dan secara politik menjalankan otoritarianisme yang militeristik. Pengendalian politik sipil oleh militer, pemasungan kebebasan berorganisasi dan berekspresi, dan sentralisme pemerintahan yang luar biasa mengendalikan politik daerah telah mengkorup Indonesia sebagai ’proyek bersama’. Nasionalisme orde baru adalah sesuatu yang anti dialog dan anti demokrasi. Kendali politik birokratis-militeristik ini telah menempatkan ’State’ menjadi apa yang dalam istilah Hobbesian sebagai Leviathan, sesuatu yang besar dan menakutkan. Orde ini juga telah menciptakan militer sebagai kasta politik terpenting dan mengecilkan peran masyarakat sipil.

Dua periode sejarah rezim ini telah menjadi pelajaran dan gambaran utuh bagi model state-led nationalism, sebuah model penerjemahan dan kendali nasionalisme dari atas (top-down), sebuah mal-praktik yang tidak boleh terjadi lagi di masa depan. Rekonstruksi nasionalisme manjdi agenda ke-dalam (internal) yang mesti dibenahi dan dimulai. Model state-led nationalism mesti “dibalik” secara radikal menjadi civic nationalism suatu model terbalik, dengan mengedepankan partisipasi semua warga Negara.

Nasionalisme Dari Aras Lokal; Menuju “Civic Nationalism”

Beberapa hal yang penting untuk dipetik adalah Pertama, pengalaman nasionalisme dan kemunculan negara baru di Eropa selama lima abad terakhir, menunjukkan gejala munculnya ’state’ selalu diawali oleh reaksi atas homogenisasi yang dilakukan oleh model state-led nationalism. Kecenderungan meningkatnya tuntutan otonomi politik atas nama perbedaan kultural, sebetulnya terjadi dalam dua kondisi tertentu. Pertama, ketika sebuah rezim memaksakan agama resmi atau kultur etnis dominan atas warga minoritas. Kedua, ketika empire (rezim) mengencangkan kendali politik atas rakyat yang sebelumnya menikmati otonomi yang longgar. Kemunculan negara-negara baru yang homogen di Eropa kerap dimotori oleh state-seeking nationalism, suatu klaim dari perwakilan politik yang tidak mendapat akses kontrol atas suatu ’state’, lalu mengklaim otonomi politik, atau bahkan memisahkan diri, atas dasar perbedaan identitas budaya. Seorang ilmuwan sejarah social Charles Tilly menulis, sebelum tahun 1800, rata-rata corak nasionalisme adalah state-led, tetapi setelah tahun itu, state-seeking nationalism menjadi motor dari revolusi di Eropa.[ States and nationalism in Europe 1492-1992’, Theory and Society, 1994] Belajar pada kenyataan sejarah itu, format nasionalisme kita harus memberi tempat kepada kebaruan, dalam hal ini mendemokratiskan hubungan pusat dan daerah, termasuk keberanian menguji bentuk federalisme.

Kedua, kasus di tingkatan lokal dengan munculnya kekerasan komunal yang dipicu oleh konflik agama atau etnis di berbagai wilayah nusantara, atau dalam derajat lebih kualitatif adalah mengerasnya ethno-nationalism, maka nasionalisme Indonesia harus dikembalikan menjadi ’proyek bersama’. Pemberian otonomi yang luas atau bahkan ’self-government’ kepada wilayah bergolak itu adalah cara untuk tetap membuat warga daerah tetap ambil bagian dari ’proyek bersama’ Indonesia. Selain itu, arah pembangunan ekonomi yang berkeadilan menjadi prioritas, karena federalisme atau otonomi yang miskin, sama saja dengan perubahan yang nihil.

Ketiga, nasionalisme baru Indonesia harus mampu menghadapi kecenderungan global. Karena itu ”civic nationalism” atau nasionalisme kewargaan harus menjadi agenda dari ’proyek bersama’. Nasionalisme ini disebut ’civic’ karena dia adalah antitesa dari nasionalisme berbasiskan etnik. Nasionalisme yang ’civic’ mampu menempatkan segenap elemen bangsa melampaui agama, ras dan suku sebagai komunitas setara, dan mendapatkan hak-hak penuh. Dengan begitu, nasionalisme ini secara inheren berciri demokratik karena dia dibangun beralaskan prinsip kedaulatan rakyat. Nasionalisme yang ’civic’ juga menjadi semacam ”etik” dalam menjaga martabat bangsa, dimana perilaku buruk seperti korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia adalah cacat politik yang mempermalukan bangsa secara keseluruhan.

II. Nama, Bentuk dan Tema Kegiatan

Nama kegiatan ini adalah Seminar berbentuk diskusi panelis dengan tema “Merebut Mandat Sejarah; Dari Lokal, Menata Gerak, Menyongsong 100 Tahun Kebangkitan Nasional”

III. Waktu dan Tempat Kegiatan

Kegiatan ini di gelar pada tanggal 3 Mei 2008 bertempat di Aula MAN Model Samarinda.

IV. Tujuan Kegiatan

- Merekonstruksi nalar state-led nationalism menuju civic nationalism dengan rakyat sebagai subjek sekaligus objeknya
- Mengembalikan nasionalisme sebagai common project (proyek bersama) bukan sebagai proyek sentralistik negara
- Mencari dan membangun rumusan bersama konsepsi nasionalisme yang sesuai dengan kebutuhan serta tuntutan zaman dalam upaya revitalisasi nasionalisme sebagai common platform (pijakan ideologis bersama) menyongsong se-abad (100 tahun) kebangkitan nasional dan menyongsong tantangan global
- Sebagai ikhtiar dari lokal untuk merumus fikir dan menata gerak untuk Merebut kembali mandat sejarah yang dibebankan pada pundak kaum muda sebagai komponen transformasi sosial menyeluruh


V. Target Kegiatan

- Tercipta dan terbangunnya civic nationalism lewat rekonstruksi dan diaspora kesadaran fikir dan gerak
- Nasionalisme dapat kembali menjadi pandu yang dinamis, lepas dari jebakan sejarah, kembali menjadi common project (proyek bersama) menuju cita bersama pula
- Terumuskannya dan terbangunnya kesepahaman, harmoni fikir dan gerak, atas pentingnya merekonstruksi dan merevitalisasi nasionalisme sebagai konsepsi bersama
- Di tingkatan atau aras lokal, dapat terbangun kesadaran histories dalam berbangsa dan bernegara sesuai dengan idiom “think globally act locally” (berfikir global bertindak lokal) sebagai pandu benderang menyongsong era global
- Bersandar pada momentum maka tepat 100 tahun kebangkitan nasional dapat menjadi momentum bagi evaluasi arah berbangsa dan bernegara baik ke dalam maupun ke luar.
- Pasca kegiatan—dapat menjadi social-political mapping (peta sosial politik) bagi PMII sebagai bagian dari komponen gerakan untuk memposisikan kembali fikiran dan gerakan disemua level kawasan (lokal, Nasional, Internasional) untuk menjalankan mandat sejarahnya.

VI. Narasumber

Narasumber Seminar adalah:

1. Ketua Umum PB. PMII, Sahabat Muh. Rodly Kaelany
Mempertegas mandat sejarah gerakan mahasiswa menyongsong kebangkitan nasional paruh ke 2 yaitu evaluasi arah berbangsa dan bernegara
2. Pangdam VI Tanjung Pura
Ancaman terhadap eksistensi Negara-bangsa
3. Roedy Haryo AMz ( Pengamat Kebudayaan dan Kebangsaan)
Kritik/oto kritik wacana Negara-bangsa

Moderator
Asman Azis (Naladwipa Kaltim, The Institute for Cultural and Social Studies)



VII. Peserta

1. Seluruh Warga PMII Se-Samarinda
2. Perwakilan Pengurus Cabang PMII Se-Kaltim
3. Perwakilan Ormas Pemuda, Kemahasiswaan dan Pelajar Se-Samarinda
4. Perwakilan Ormas Keagamaan Se-Samarinda
5. Para Undangan


VIII. Penutup

Demikian TOR ini dibuat dan disampaikan, semoga dapat menjadi ikhtiar bersama, sekian.

Wallaahul Muwaffiq Ilaa Aqwamith Tharieq
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Samarinda, 15 April 2008

PANITIA PELAKSANA



Subhan Arafat Teguh
Ketua Sekretaris

PENGURUS CABANG
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA
SAMARINDA
2008-2009



M.Taufik Bill Faqih
Ketua Umum













TENTATIVE ACARA
HARLAH PMII KE 48

No Kegiatan Waktu Keterangan
1 Ceremonial
• Pembukaan
• Pembacaan ayat-ayat Suci
• Indonesia Raya & Mars PMII
• Pelantikan Pengurus Cabang PMII Samarinda periode 2008-2009
• Sambutan-sambutan
1. Ketua Umum PC. PMII Samarinda
Sahabat M. Taufik bill Fagih
2. Ketua Umum PB PMII
Sahabat Rodly Kaelani
3. Walikota Samarinda
Bapak H. Ahmad Amins MM
Himne PMII
Do’a
Penutup

08.30-08.35
08.35-08.55
08.55-09.05

09.05-09.20



09.20-09.30

09.30-09.40

09.40-09.50
09.50-10.00
10.00-10.05
10.05-Selesai
2 Seminar
• Pangdam VI Tanjung Pura
Ancaman terhadap eksistensi Negara-bangsa
• Ketua Umum PB. PMII, Sahabat Muh. Rodly Kaelany
Mempertegas mandat sejarah gerakan mahasiswa menyongsong kebangkitan nasional paruh ke 2 yaitu evaluasi arah berbangsa dan bernegara
• Roedy Haryo AMz ( Pengamat Kebudayaan dan Kebangsaan)
Kritik/oto kritik wacana Negara-bangsa
• Asman Azis (moderator)


Seminar diadakan pada pukul 10.20 wita yang dipandu langsung oleh moderator dengan melihat efektivitas waktu yang dialokasikan.
Seminar akan ditutup pada pukul 14.00 wita.
3 Rapat kerja Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Samarinda Raker akan di adakan di Sekretariat Cabang.

Tidak ada komentar:

Pages