Tentang BBM

Keputusan Kenaikan Harga BBM adalah Politik Pemiskinan Rakyat Indonesia
Tanggal: 07 May 2008
Sumber: INFID
Prakarsa Rakyat, Pernyataan Sikap INFID Terhadap Rencana Kenaikan Harga BBM

Akhirnya spekulasi tentang rencana kenaikan harga BBM terjawab sudah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang langsung menyatakan rencana ini sesuai Rapat Kabinet Terbatas hari Senin tanggal 5 Mei 2008 dan makin dipertegas lagi dalam Pembukaan Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional hari Selasa tanggal 6 Mei 2008.

Dengan demikian, sekali lagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerah pada tekanan lembaga keuangan internasional, negara-negara pemberi utang dan kaum pemodal untuk mencabut subsidi BBM yang dianggap sebagai penghambat iklim investasi dan sumber defisit APBN. Tekanan lembaga keuangan internasional dan negara-negara pemberi utang Indonesia agar mencabut subsidi adalah untuk memastikan aliran dana yang lancar dari pembayaran utang luar negeri beserta bunganya dari APBN.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tutup mata atas dampak yang telah ditimbulkan dari kebijakannya menaikkan BBM pada bulan Maret dan Oktober 2005. kebijakan ini telah mengakibatkan peningkatan jumlah angka kemiskinan dari 15,97% pada Februari 2005 menjadi 17,75% pada Maret 2006 (Hasil Susenas BPS, 2006). Hal yang berat dirasakan rakyat ketika menghadapi kenaikan BBM, bukan hanya membayar harga BBM lebih tinggi, tetapi juga pada efek domino kenaikan harga komoditas dan layanan jasa lainnya.

Mencabut subsidi BBM dengan menaikkan harga BBM pada saat ancaman krisis pangan ada didepan mata adalah sebuah keputusan politik yang anti rakyat miskin. Dalam kwartal pertama tahun 2008 ini, pembiayaan sektor publik (melalui APBN 2008) telah dipotong sekurang-kurangnya 15% atas nama penghematan APBN. Tak hanya itu, Pemerintah RI juga kembali mengemis utang ke Bank Dunia dan Asian Development Bank untuk menopang APBN yang limbung akibat krisis ekonomi yang kembali muncul. Akibatnya utang luar negeri Indonesia pada tahun 2008 kembali melonjak. (Lihat lampiran posisi utang Indonesia)

Di sisi lain, pemerintah tidak memainkan peran strategisnya untuk menuntut perubahan mekanisme perdagangan global yang tidak adil yang menimpa semua negara dan memiskinkan semua warga negara di dunia. Perdagangan global telah menempatkan negara tunduk pada spekulator perdagangan di tingkat internasional yang dapat mempermainkan harga komoditas penting seperti minyak dan pangan pokok. Permainan spekulator ini mengakibatkan semua kebijakan ekonomi negara diubah secara terus-menerus demi mengikuti permainan gambling spekulator yang dapat dengan sewenang-wenang mengubah harga.

Dalam perspektif penanggulangan kemiskinan, keputusan untuk menaikkan BBM kontradiktif dengan komitmen global MDGs yang telah disepakati oleh Indonesia dalam pengurangan angka kemiskinan. Keputusan ini juga memperlihatkan kegagalan pemerintah Indonesia dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya rakyat Indonesia sebagaimana yang telah dimandatkan dalam UU No. 11/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dengan demikian keputusan menaikkan harga BBM adalah bentuk pelanggaran HAM oleh negara.

Jika Pemerintah Indonesia benar-benar serius memikirkan alternatif pembiayaan pembangunan dalam menghadapi krisis ekonomi sebenarnya ada beberapa alternatif yang bisa dipilih, diluar pilihan satu-satunya (yang selalu didesakkan oleh lembaga keuangan internasional dan negara-negara pemberi utang) pencabutan subsidi BBM dan pengurangan pembiayaan layanan publik. Alternatif itu adalah pengurangan beban utang luar negeri. Setiap tahun, sekitar 30% dari total APBN diperuntukkan untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri. Upaya pelepasan ketergantungan terhadap utang luar negeri dijalankan melalui diplomasi pengurangan/ penghapusan utang (mulai dari moratorium jangka panjang, debtswap, debt relief dan debt cancellation). Jalan ini membutuhkan diplomasi penghapusan utang yang memiliki kredibilitas dan mendapat dukungan politik dari rakyat.

Alternatif lain yang juga bisa ditempuh adalah perubahan mendasar dari kebijakan pengelolaan sumberdaya mineral (pertambangan) yang selama ini lebih banyak dikelola investasi asing. Dominasi investasi asing dalam sektor ini hanya memberi keuntungan bagi Indonesia dari penerimaan pajak dan prosentase keuntungan yang sedikit, namun membawa dampak buruk bagi ekologi yang rusak karena eksplorasi yang membabi buta. Pembatasan investasi asing dalam sektor pertambangan dan pengelolaan langsung sektor ini oleh negara dipastikan akan lebih banyak memberikan sumbangan bagi pembiayaan pembangunan. Hal ini juga akan mendukung upaya melepaskan diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri.

Lebih dari itu, penting bagi pemerintah Indonesia untuk menyerukan kepada pimpinan-pimpinan dunia untuk mengevaluasi kegagalan perdagangan global dalam membantu mengatasi kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat karena besarnya kekuasaan spekulator perdagangan dunia dalam mengendalikan harga di tingkat internasional.

Atas dasar hal tersebut, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) yang bekerja untuk memonitor masalah pembangunan di Indonesia menyatakan sikap:

• Menolak keputusan kenaikan BBM yang akan berdampak pada peningkatan angka
kemiskinan rakyat Indonesia
• Mendesak Pemerintah Indonesia menempuh alternatif politik ekonomi yang tidak menyengsarakan rakyat antara lain dalam bentuk politik pengurangan/penghapusan utang luar negeri dan pengelolaan langsung sektor pertambangan oleh negara
• Mendesak pemerintah Indonesia untuk memulai pembahasan di tingkat internasional terhadap ketidakadilan mekanisme perdagangan global.


Jakarta, 06 Mei 2008


Dian Kartika Sari Wahyu Susilo
Deputy Director Head of Advocacy
Division
0816759865 08129307964

Tidak ada komentar:

Pages