Subronto Aji ; Piala dunia : Change and Shock



Pagelaran Piala Dunia selalu saja melahirkan kejutan-kejutan. Untuk tahun 2010 ini, tim-tim besar, seperti Italia dan Perancis harus pulang lebih awal dari benua Hitam. Perancis bahkan menjadi tim Eropa yang ‘paling memalukan’, sudah menempati juru kunci grup, harus pula pulang dengan ‘wajah tertunduk’. Buruknya performa tim Perancis dilapangan perkaya konflik pemain dan pelatih justru terjadi diruang ganti. Semifinalis piala dunia sebelumnya ini, praktis bermain tanpa determinasi, miskin kreasi, dan tidak solid secara mental.

Ketiadaan sosok Zidane, warga imigran keturunan Aljazair, Perancis seperti ayam jantan yang tak punya taji. Zidane, memang datang ke Afrika, hanya kini dia memilih duduk dibangku penonton. Zidane bagi Perancis bukan saja kapten dan kreator serangan, tetapi Zidane adalah simbol dari persatuan lintas bangsa dan nasionalisme Perancis dilapangan bola. Karena itu, kegagalan tim dengan komposisi multi rasial kali ini, mungkin akan meluas kewilayah politik, menggugat lagi makna penduduk asli dan patriotisme. Kita masih ingat, walau sari filsafat disuling dari sana, rasialisme dan diskriminasi belum selesai dirumah Napoleon itu.

Lupakan Perancis. Setiap piala dunia selalu menghadirkan kejutan, tetapi kali ini mungkin bukan sekedar kejutan. Di Afrika 2010, kita bisa menyimak sedikit pergeseran kekuatan sepakbola dunia. Zinedine ‘ Zizou’ Zidane, dalam sebuah wawancara mengatakan, ‘ Sekarang kita tidak bisa lagi bicara tentang keberadaan tim lemah atau tim kuat. Semua tim dipiala dunia kali ini bagus. Sampai putaran kedua fase grup, tidak ada tim yang benar-benar dominan. Ini bukan berarti kualitas turnamen turun, tetapi lebih karena semakin sejajarnya kekuatan tim-tim peserta’ (Koran Bola, edisi 24 juni 2010). Zidane tak berlebihan.

Mari simak faktanya. Wakil Afrika misalnya, yang kini menyisakan Ghana sebagai wakilnya. Minggu dinihari (27/06), Ghana sukses memulangkan Amerika Serikat dihadapan Bill Clinton, mantan presiden yang membuat piala dunia 1994 bisa digelar dinegerinya. Lalu ada juga wakil Asia, yang baru saja kalah dibabak knock out oleh Uruguay, Korea Selatan. Tim yang fondasi permainan total football Asia-nya diletakkan meneer Hiddink pun sukses menjaga warisan sang meneer. Skuad Gingseng yang dikapteni Park Ji Sung, sukses menyadarkan Yunani di partai penyisihan grup kalau mereka harus berubah. Yunani adalah tim yang bermain paling membosankan dengan pelatih yang masih itu orangnya, Otto Rahagael, sejak Yunani juara piala Eropa. Masih tersisa Laskar Bushido,yang sabetan kaki pemainnya sangat mungkin jabulani bergerak seperti samurai : cepat dan akurat menghujam gawang lawan hingga menghantar mereka ke babak 16 besar.

Italia, juara bertahan 2006 yang memanggil pulang Marcelo Lippi untuk kembali melatih, juga bernasib sama tragis. Walau sudah dihuni talenda-talenta muda, dipartai pamungkas grup, mereka harus membisu dikaki pemain Slovakia. Sebelumnya mereka bahkan harus angkat jempol buat Selandia Baru, tetangga Indonesia yang sukses merepotkan Cannavaro,dkk. Gabungan tua-muda di Italia belum sepenuhnya bersenyawa, taktik juga gaya bermain pun masih begitu-begitu saja. Hasilnya, seperti tak ada bekas Italia adalah juara diempat tahun lalu, wajah ganteng para pemainnya harus segera berlalu dari sorok kamera dan tatapan penuh puja kaum wanita.

Untuk tim-tim dari daratan Eropa, hanya timnas Jerman perlu diberi pujian. Jerman berangkat ke Afrika 2010 tanpa Ballack, jendral lapangan tengah yang meneruskan fungsi sentralnya gelandang jangkar di Jerman. Jerman selalu memiliki pemain terbaik untuk posisi ini, yang melahirkan nama besar seperti Franz Beckenbauer dan Lothar Mattheus. Posisi ini sudah menjadi identitas Jerman; tanpa kaderisasi pemain untuk posisi jangkar tengah ini, Jerman ‘tak pernah berwarna’ dalam sepakbola dunia.

No Ballack, No Problem !. Jerman 2010 sudah punya Bastian Schweinsteiger yang kelasnya setara. Lebih mantap lagi, tim ini juga dihuni pemain yang hanya bermain diliga domestik, liga yang tak menarik untuk dibeli hak siarnya. Makin mantap lagi, kini di timnas Jerman juga sudah mulai diisi orang Jerman-Afrika, Jerman-Turki atau Jerman-Polandia. Maka itu, Jerman hadir di Afrika dengan pesan mereka tengah berubah; tak lagi ‘lamban panas, monoton, dan membosankan’ plus multi-nasional.

Tanpa dihuni mayoritas orang tua, tim spesialis turnamen ini mampu melewati transisi dan mentransformasi dirinya dalam satu dasawarsa menjadi pasukan cepat dan agresif, short passing yang enak ditonton, dan tentu saja, mematikan kala menyerang. Lihatlah bagaimana Jerman membantai Inggris 4:1, bagaimana Podolski dan Muller bergerak dengan sentral permainan ada pada Schweinsteiger berduet penetrasi Oezil dari tengah. Dibelakang, ketatnya Lahm dan Boateng menjaga sisi kanan dan kiri pertanahan, sangat dinamis bukan ?.

Pecinta Jerman wajib berterimakasih pada Voeller dan Klinsman, der trainer pendahulu Joachim Loew yang berani merubah filsafat sepakbola Jerman menjadi agresif. Liga sepakbola Jerman jelas tak semeriah Italia, Inggris dan Spanyol, tapi ketika menjadi timnas, mereka adalah kekuatan luar bisa. Dan, Italia, Inggris juga Perancis, lebih-lebih Yunani, yang tersendat-sendat mengelola transisi internalnya perlu belajar dari cara Jerman mengelola transisinya.

Jangan lupakan tim-tim dari Amerika Latin. Mungkin kita bisa mengecualikan Brazil dan Argentina, negara dengan sejuta talenta hebat dilapangan hijau. Tetapi Chile, Paraguay, dan Uruguay yang kini masih terus melaju hingga babak 16 besar adalah kekuatan yang tak bisa dipandang remeh. Negara-negara dari kawasan ini jelas tak kuat secara ekonomi, walau kaya sumberdaya alam. Hanya Brazil yang disebut salah satu negara yang sedang tumbuh kuat menjadi kekuatan ekonomi bersama Rusia, India dan China (BRIC). Namun, untuk urusan sepakbola, negara-negara dikawasan ini terus menjaga kualitas sepakbolanya bagi aksi di pentas dunia. Lewat Amerika Latin, sepakbola mampu menjadi kekuatan penyeimbang hubungan antar negara, khususnya terhadap (sepakbola) Amerika dan Eropa.

Dengan bekal tradisi besar dan kompetisi sepakbola paling maju dan gemerlap, tampaknya bukan hukum besi bakal terus sukses dilevel kompetisi antar bangsa empat tahunan ini. Ketika tulisan ini dibuat, wakil Eropa yang pertama melaju ke babak 8 besar baru Jerman, diluar itu, Amerika Latin sudah mengirim Argentina dan Uruguay, lalu Afrika mengirim Ghana. Portugal dan Spanyol masih harus berjibaku dan akan ketemu Brazil. Tampaknya, Afrika Selatan 2010 adalah laboratorium penegasan itu, kalau sepakbola bisa menjadi modus eksistensi : dilapangan hijau, tim sepakbola dari negeri dunia ketiga mampu membalik ramalan, meruntuhkan harapan. Di Afrika 2010, untuk kesekian kalinya, karena sepakbola, dan hanya dengan sepakbola, pembedaan dunia pertama, kedua dan dunia ketiga tak lagi tegas. Tim manapun bisa tumbang dilapangan hijau.

Dunia Ketiga Sepakbola :
Nestapa dan Kebanggaan

Sepak bola di dunia ketiga tak semua tumbuh berkembang dalam sistem liga, sponsorship, investasi, teknologi dan selebritas seperti di dunia pertama (: Eropa), dengan pengecualian Liga Jepang, walau secara teritorial di Asia, ia termasuk kedalam grup macan ekonomi dunia. Negeri-negeri postkolonial ini bukan saja ‘miskin’, tetapi juga selalu sering salah urus, termasuk sepakbolanya pun ikut salah urus. Memang Tuhan memberi bakat potensial pada kaki-kaki kurus penduduknya, tetapi bakat-bakat itu lebih sering sia-sia dihadapan sistem olahraga yang tak punya identitas sendiri. Olahraganya sendiri miskin prestasi, mungkin lebih kaya ‘skandal’, hingga masih jauh dari menjadi kebanggaan dan identitas bangsa.

Walau tak lagi berlaku umum, sepakbola didunia ketiga masih dekat dekat rusuh dan anarki. Di Indonesia, kerusuhan antar supporter masih sering terjadi hingga harus ada yang mati. Bahkan, untuk survive, klub sepakbola bahkan harus ‘merampok’ APBD. Padahal, seandainya saja semua dana dalam APBD digunakan penuh membangun, masih saja tak cukup. Begitu pun dari sudut industri hiburan, jika di Eropa sepakbola bagi publik adalah hiburan akhir pekan, maka didunia ketiga, sepakbola adalah ‘kecemasan’ : jangan-jangan rusuh, pemainnya berkelahi, wasitnya berpihak, supporternya bentrok, dll. Karena itu, mungkin bagi sebagian pecinta bola tanah air, berharap tim nasional menjadi juara Asia lebih sebagai khalayan ketimbang kenyataan. Apalagi menjadi juara dunia, seperti sebuah utopia saja.

Sebaliknya, coba tengadahkan tatap kesebarang benua Biru sana. Siapa yang meragukan kualitas liga Inggris, German, Italia, Perancis, Portugal, dan Spanyol ?. Pertandingan di liga-liga itu saban akhir pekan menyapa mata kita diseluruh Indonesia. Stasiun TV swasta berlomba membeli hak siarnya; kita puas melihat klub pujaan, mereka senyum menimba rupiah. Informasi pertandingan, klub dan para pemainnya sering menjadi topik perbincangan dari warung kopi, pasar, hingga ruang-ruang kuliah dan perkantoran. Akibatnya, kita pun lebih hafal nama-nama pemain diliga-liga itu. Termasuk hafal besaran kontrak-gaji, selera, kebiasaan sampai gosip seputar kehidupan pribadi mereka. Barangkali, jika didaftar, kita lebih hafal nama pemain bola ketimbang nama para pendiri republik.

Beda benua Biru dengan kita bukan sekedar beda alur sejarah dan tradisi olahraga yang panjang. Bukan juga karena takdir fisikal dan finansial yang mencipta gap, seperti interaksi antagonis ‘the beauty and the beast’. Bukankah Indonesia pernah punya timnas yang membanggakan dimasa silam, yang disegani dikawasan Asia disekitaran tahun 50-60an. Kita juga bukan tak pernah belajar dengan keberhasilan mereka membangun industri sepakbola yang membanggakan, belajar sejak dari buku, mendatangkan ahli, hingga mengirim timnas berlatih disana. Lalu gagal kita dimana ?. Entahlah.

Mari belajar dari Afrika Selatan. Afrika Selatan pasti harus berhutang uang sangat banyak untuk menjadi tuan rumah. Untuk membangun stadion yang megah dan layak saja, butuh dana trilyunan. Belum lagi menyiapkan masyarakatnya untuk menjadi pemandu yang ramah dan bersahabat mengingat kriminalitas akrab dengan mereka yang miskin. Karena pernah dijajah secara hina, mentalitas rendah diri pun masih menggelayut diruang batin masyarakatnya. Tapi penduduk Afrika Selatan yakin dengan modal dasar: kepercayaan diri, kebersamaan, dan kesungguhan menyiapkan diri sebagai bangsa yang besar. Yang paling penting, mereka mewujudkannya dengan perbuatan kolektif nyata day-to-day. Hasilnya, jadilah World Cup 2010 yang kita nikmati sekarang ini.

Berbanggalah pada Afrika Selatan 2010, negeri yang luluh lantak oleh gelombang rasialisme, kemiskinan dan perang saudara. Menjadi tuan rumah bagi Afrika Selatan bukan sekedar mengambil giliran sesudah Jepang-Korea yang mewakili Asia. Tetapi, menjadi tuan rumah, adalah pembuktian suatu bangsa. Pembuktian bahwa Afrika kini adalah rumah yang ramah bagi sepakbola, rumah yang wajib dikenang sepanjang zaman. Afrika lama adalah monumen dari rasialisme yang biadab, dan, Afrika paska World Cup 2010 adalah rumah bagi persaudaraan umat manusia.

Di World Cup 2010, lihatlah ditribun penonton, serap energinya. Disana, manusia sesak berjejal dalam perbedaan yang menyatukan. Semua bersorak, meniup vuvuzela sambil menatap jabulani ditendang kesana-sini. Diantara suporter itu, rombongan suporter Brazil ‘nekad’ membawa tambur dari rumahnya. Mereka semua membuat tribun menjadi taman bunga ras manusia, penuh warna-warni, semarak sorak-sorai. Sembari tetap setia menggunakan atribut timnas masing-masing, para penonton itu tetap ikhlas menerima kekalahan. Mungkin mereka serentak mengaminkan dalam kesadarannya, ‘tim kita boleh tampil buruk, kalah, bahkan harus pulang. Tetapi pesta ini tak boleh rusuh apalagi bubar’.

Sungguh, This Time (only) for Afrika, We Love U Full !!. Last but not least, wakil Amerika Selatan yang akan membawa pulang trofi Jules Rimet. Anda mau bertaruh ?.***

Tidak ada komentar:

Pages