Karena pandangannya yang kontroversial –bahwa akhlak yang buruk disebabkan otak yang luka- para penegak hukum meminta Amen melakukan SPECT pada para pelaku kejahatan. Apakah ia melakukan tindak kekerasan karena will-driven atau brain-driven? Saya akan mempersilakan Dr Amen menceritakan salah satu kasus yang membawanya pada posisi saksi ahli:
Peter Chiesa, seorang suami yang berusia 62 tahun, telah bertengkar dengan tetangganya selama 12 tahun, karena masalah pohon yang condong ke rumah tetangganya. Mereka telah mengajukan masalah ini ke pengadilan. Tapi bahkan setelah ada keputusan pengadilan pun , pertengkaran itu tidak berhenti. Selama dua belas tahun ini tingkah laku Peter makin lama makin tidak rasional. Ia pernah mengalami luka otak ketika ia jatuh dari tumpukan jerami dan kehilangan kesadaran selama beberapa saat; ia juga mengalami strok dan jantungnya harus mengalami bypass. Bedah jantungnya itu sering dihubungkan dengan resiko kesulitan berfikir yang serius dan dementia awal.
Semua faktor ini sangat mungkin menyebabkan Peter makin paranoid dan mudah tersinggung. Ia berusaha berobat pada psikiater, dan istrinya yang dua belas tahun lebih muda, menjadi sangat keras mengawasinya. Pada suatu hari ketika istrinya sedang bekerja, Peter terbangun karena mendengar suara gergaji. Ia yakin tetangganya sedang memotong cabang-cabang pohon yang diperebutkannya.
Dengan murka, ia menelepon 911, kantor polisi. “Aku akan membunuh cewe-cewe bajingan,” ia berteriak pada operator. “Kalian harus segera mengirim orang ke sini.” Ia kemudian mengambil senjata Magnum berkaliber .357 dan menghadapi dua orang perempuan yang sedang menjarah pohonnya. Sambil ditonton oleh dua orang anak laki-laki, Peter menembak dan membunuh kedua perempuan itu.
George Wilkinson, psikiater yang mengevaluasi Peter untuk pembelaan, meminta saya untuk menscan otak Peter. Seperti dugaan semua orang, otaknya menderita kerusakan berat, terutama pada korteks prefrontal (pusat penilaian) dan lobus temporal (yang berusan dengan memori, stabilitas mood, dan agresi). Hasil scan diperlihatkan di pengadilan. Tujuannya bukan untuk membebaskan dia- itu tidak terjadi dan tidak boleh terjadi, terutama karena dengan dingin ia membunuh dua orang perempuan yang tidak bersalah dengan disaksikan oleh anak-anaknya- tapi untuk memperlihatkan kepada juri bahwa Peter bertingkahlaku tidak sebagai orang normal, yang bisa mengakses semua kemampuan mentalnya. Keputusan hakim padanya memang bisa jadi hukuman mati.
Ketika saya berdiri sebagai saksi, jaksa bertanya, “Dr Amen, apakah menurut Anda Mr Chiesa punya masalah serius pada korteks prefrontal, bagian otak yang merencanakan?”
“Benar, Pak,” jawabku.
“Tapi bukankah tindakan Mr Chiesa menelpon 911 sebelum membunuh menunjukkan perencanaan yang baik?” Jaksa bertanya dengan menyindir.
“Tidak!” Aku jawab dengan tegas. “Menelepon 911 menunjukkan perencanaan yang buruk. Betapa bodohnya menelepon 911 untuk merencanakan pembunuhan.” Saya melanjutkan. “Ketika kita tersinggung, banyak di antara kita yang ingin melakukan tindakan kekerasan seperti : “Aku bunuh mereka”, tetapi kita tidak akan menelepon 911 dan melakukan tindakan berdasarkan pikiran yang buruk. Kalau ia merencanakan dengan baik, ia akan mandi dahulu, makan sedikit, atau berjalan-jalan. Ia tidak akan membunuh perempuan di hadapan anak-anaknya dengan dingin, lalu menghabiskan sisa umurnya meringkuk di penjara hanya karena urusan cabang pohon yang digergaji.” Penuntut umum keberatan, tapi juri mendengarkan setiap perkataanku. Peter divonis membunuh tingkat dua (second degree murder) dan bukan membunuh tingkat pertama sehingga ia tidak dijatuhi hukuman mati (Daniel G. Amen, Making a Good Brain Great).
Peter Chiesa dan Phineas Gage mengalami perubahan tingkah-laku karena mengalami kerusakan otak pada korteks prefrontal. Otak Chiesa rusak karena benturan, dan otak Gage karena kecelakaan. Otak bisa terluka bukan hanya pada korteks prefrontal, tetapi juga pada bagian-bagian yang lain dengan akibat-akibat yang berbeda.
Seperti dicontohkan di atas, luka pada korteks prefrontal akan menyebabkan Anda sulit konsentrasi pada pekerjaan rutin, sulit mendengarkan, gagal menyelesaikan tugas, prokrastinasi (menunda-nunda), mudah beralih perhatian, impulsif (berkata atau bertindak tanpa berpikir lebih dahulu). Luka pada girus singulata membuat Anda cemas berlebihan, mudah tersinggung kalau terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan Anda, gampang membantah atau menentang, mengulang-ulang pikiran negatif, menyimpan dendam, cenderung mengatakan “tidak” tanpa memperhatikan pertanyaannya.
Luka pada sistem limbik menyebabkan depresi, pikiran negatif, kehilangan kemampuan untuk menikmati hiburan, merasa putus asa akan masa depan, merasa tidak berdaya, tidak berharga, tidak berarti, bosan, ada perubahan pola tidur atau makan. Luka pada basal ganglia menyebabkan sering nerveus dan cemas, simptom ketegangan otot (sakit kepala, sakit-sakit tubuh), cenderung untuk meramalkan hal yang buruk, sensitif terhadap kritik, motivasi kerja yang berlebihan, diam terpaku menghadapi situasi yang mengancam. Luka pada lobus temporal mengakibatkan berubah-berubah mood dengan cepat, mudah tersinggung dan agresif, sering menafsirkan ucapan orang secara negatif, mudah panik tanpa alasan yang jelas, paranoia ringan, pikiran kelabu seperti mau bunuh diri atau bunuh orang, masalah memori.
Walhasil, kita menyaksikan betapa berbahayanya luka pada otak pada bukan saja perilaku kita tapi juga pada kehidupan kita. Luka pada tangan Anda hanya akan menimbulkan rasa sakit pada tangan Anda saja. Luka pada otak Anda akan menyebabkan Anda tidak lulus ujian, dijauhi kawan, bercerai dengan pasangan, menderita kesedihan, kehilangan masa depan, tidak sanggup mengendalikan kemarahan, pendeknya…kehilangan kebahagiaan.
Seberapa besar kemungkinan otak kita terluka? Besar sekali. Soalnya, otak kita mirip tahu yang mengambang dalam panci yang penuh air. Sangat lembek. Berbeda dengan kelapa, batok kepala yang menghadap ke dalam otak mempunyai permukaan yang kasar dan tajam. Ketika terjadi benturan, misalnya karena kecelakaan lalulintas atau ditendang dengan tendangan karate, atau –naudzu billah dibenturkan ke tembok, otak tidak bisa lari. Ia terpuruk dalam ruangan yang sempit. “Duri-duri” itu akan menusuk permukaan otak yang lembut. Terjadilah gegar otak, kata orang awam; atau konkusi, kata dokter. Konkusi sekecil apa pun tidak boleh dipandang remeh. Akibat buruknya bisa terjadi waktu itu juga; atau berangsur-angsur makin parah dalam perkembangan waktu.
Jadi apa yang harus kita lakukan? Bila Anda menderita gejala-gejala yang saya sebutkan di atas, ada baiknya ada minta ahli otak untuk menscan otak Anda. Apakah Anda menderita atau tidak menderita gejala-gejala itu, Anda harus memelihara dan melindungi otak Anda. Hindari tempat-tempat yang memungkinkan Anda jatuh. Pakai helm yang kuat ketika Anda mengendarai motor. Jangan lakukan olahraga atau latihan bela diri yang dapat mencederai kepala.
Kemajuan teknologi kedokteran dan farmakologi juga dapat membantu bukan saja memelihara kesehatan otak, tetapi juga mengembangkan dan meningkatkan kapasitas otak; supaya Anda lebih cerdas dan lebih bahagia. Buku yang Anda pegang sekarang ini ditulis untuk memperkenalkan Anda pada bagian dari diri Anda yang sekaligus menjadi jati diri Anda. Bukankah otak sebetulnya adalah software dari ruh Anda. Tauhid Nur Azhar membawa kita berpesiar menjelajah otak dan menyaksikan cara kerjanya dalam berbagai dimensi kehidupan; sejak ketika kita berlari menghindari kecoa dan hantu, sampai ketika kita berkhidmat kepada sesama dan beribadat kepada Tuhan.
Setelah membaca pengantar saya ini dan memperoleh penjelasan lebih lanjut dalam buku ini, Anda pasti hanya punya satu pilihan: Syukuri otak, anugrah Tuhan yang menakjubkan ini, dengan merawatnya, menjaganya, melindunginya, dan mengembangkannya.
Bandung, 25 Juni 2008
Jalaluddin Rakhmat menulisnya sebagai Kata Pengantar untuk buku "Bedah Otak" tulisan Tauhid Nur Azhar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar