Di sebelah barat Amerika, pada masa Wild West, 13 September 1848. Sebuah kecelakaan bersejarah terjadi. Kecelakaan yang mengubah paradigma dalam kedokteran dan psikologi. Seperti dalam cerita-cerita cowboy, semuanya bermula dari pembangunan rel kereta api. Phineas Gage adalah yang punya lakon. Ia memimpin sekelompok orang yang bertugas meledakkan bukit dan bebatuan. Pada siang hari yang panas, Gage memasukkan mesiu ke dalam lubang di bukit batu. Secara tidak sengaja ia mendorong mesiu itu dengan batang besi yang pendek. Tiba-tiba mesiu meledak tepat di depan wajahnya. Batang besi itu menerobos masuk dari pipi kirinya, melintasi otak di belakang matanya, menyeruak ke luar batok kepalanya, dan mendarat kira-kira 23 meter di sampingnya.
“Setelah luka kepalanya sembuh, Gage tampak hidup normal. Ia berbicara rasional dan kemampuan berpikirnya tampak utuh. Tapi segera orang melihat ada perubahan besar dalam dirinya. Dahulu Gage dikenal sebagai pengusaha yang sabar, energis, dan cerdas dengan “jiwa yang serasi”. Setelah kecelakaan, ia tampaknya kehilangan beberapa karakternya yang esensial. Ia menjadi kasar, berangasan, pemberang, temperamental.
Walaupun ia melahirkan banyak rencana, ia tidak mampu melaksanakannya. Menurut orang yang mengenalnya, “Gage bukan lagi Gage yang dahulu.” (Norman E. Rosenthal, The Emotional Revolution)
Sebelum kecelakaannya, pada usia 25 tahun, Gage mampu memimpin kelompok besar. Setelahnya, ia tidak mampu melakukan pekerjaan yang rutin. Ia mengembara ke segenap pelosok negeri tanpa ikatan personal dengan siapa pun. Pada usia 38 tahun, ia meninggal secara misterius setelah berkali-kali mendapat serangan kejang-kejang (tidak salah lagi karena kecelakaan itu). Kepalanya diawetkan”
Kecelakaan itu memperjelas hubungan antara apa yang terjadi pada otak dengan perilaku manusia. Sebagian kecil otak yang rusak karena batang besi itu telah mengubah perilaku dan akhirnya jalan kehidupan Gage. Dengan teknologi brain-scanning yang mutakhir, kepala Gage diteliti lagi. Dr Antonio Damasio, direktur Brain and Creativity Institute, Amerika, dengan timnya menyimpulkan bahwa perilaku Gage yang aneh terjadi karena kerusakan pada korteks prefrontal, bagian otak paling depan, tepat di belakang dahi. Semua pasien yang mengalami kerusakan pada bagian otak itu mengalami transformasi kepribadian yang mengenaskan. Mereka menjadi kasar, tumpul perasaan, pembual, dan gagal dalam hubungan interpersonal. Ketika bergaul dengan orang lain, ia mirip robot yang tanpa hati, tanpa rasa, juga tanpa kendali. Mereka bisa lulus dalam tes kecerdasan, tapi gagal dalam merencanalan masa depan. Mereka sulit mengambil keputusan. Rupanya, tanpa melibatkan emosi, kita tidak bisa menentukan mana yang harus kita lakukan. Salah seorang pasien Damasio, walaupun cerdas, tidak bisa menentukan kepan dan jam berapa ia ketemu lagi dengan dokternya.
Dahulu, diperlukan ada kecelakaan untuk mengetahui pengaruh otak pada perilaku manusia. Sekarang, berkat teknologi kedokteran mutakhir, kita dapat melihat kerusakan otak kapan pun. Di antara teknologi scanning yang menakjubkan adalah SPECT, singkatan “single photon emission computed tomography”. Anda tidak perlu menghapalnya dan tidak usah menerjemahkannya. Karena menyangkut emisi foton, wilayah yang membicarakannya termasuk kedokteran nuklir. Satu dosis kecil radioisotof diinjeksikan ke dalam darah. Darah mengalir ke dalam otak, membawa radioisotof itu. Berbeda dengan MRI dan CAT yang menunjukkan anatomi otak dan bagaimana otak kelihatan, SPECT merekam fungsi otak dan bagaimana otak bekerja. Kita dengarkan penjelasan Dr Amen, direktur rumahsakit dst, tentang SPECT: “Hasil SPECT sebenarnya sangat mudah dibaca dan dipahami. Kami melihat daerah-daerah dalam otak yang bekerja baik, daerah-daerah yang bekerja terlalu keras, dan daerah-daerah yang bekerja lamban.” Kerja otak yang bermacam-macam itu menimbulkan perilaku yang bermacam-macam.
Dr Daniel G. Amen mengumpulkan gambar hasil SPECT dari ribuan orang. Sebagai orang awam, saya terkesan dengan penampilan otak. Sama seperti wajah-wajah kita,” muka otak” pun bermacam-macam. Mulai dari muka yang paling jelek, yang tampak seperti monster, sampai pada muka yang paling cantik, yang enak dipandang. Anda sudah bisa menebaknya: Muka yang jelek adalah otak yang terluka; dan muka yang cantik adalah otak yang sehat. Amen menghubungkan perbedaan muka otak itu dengan perilaku. Muka yang jelek melahirkan perilaku yang –ia sebut- brain-driven. Muka yang baik menimbulkan perilaku yang will-driven.
Ketika otak Anda sehat, Anda bekerja produktif, mengambil keputusan dengan bijak, menetapkan tujuan, dan bergerak aktif untuk mencapai tujuan itu. Anda juga mampu mengendalikan diri, tahan menghadapi penderitaan, dan bergaul dengan orang tanpa menimbulkan gangguan pada mereka. Pada waktu haji Wada’, Nabi saw mendefinisikan Muslim. “Muslim ialah orang yang tidak mengganggu orang lain dengan lidah dan tangannya.” Muslim, menurut neurologi dan ahli bedah otak, adalah orang yang otaknya sehat. Ia berperilaku dengan melakukan pilihan-pilihan, yang mendatangkan kebaikan kepada dirinya.
Ketika otak Anda terluka, bergantung pada bagian mana yang terluka, jalan pikiran Anda menjadi kacau. You trouble until the trouble troubles you. Kamu mengganggu orang sampai gangguan itu akhirnya mengganggu kamu juga. Perilaku kamu sudah berada di luar kontrol kamu. Kamu sepenuhnya dikendalikan oleh peristiwa-peristiwa biokimia dalam otakmu. Dr Amen memberikan contoh tentang orang yang perilakunya brain-driven.
Bersambung...
(Jalaluddin Rahmat)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar