ANTARA AGAMA DAN NEGARA

Janda056_1

Oleh : M. Taufik Bilfagih


Islam menentang Imprealisme. Islam dan penjajah adalah kontradiksi yang sangat tajam. Kekuatan dan kebenaran ucapan diatas dapat diuji bukan hanya dari aspek segi falsafah ajaran Islam tetapi juga dalam sejarah dunia dan sejarah bangsa kita.

Banyak orang menyatakan bahwa perjuangan kemerdekaan

Indonesia

dimulai pada tahun 1908 dengan beerdirinya “Budi Utomo” oleh Dr. Wahidin Sudiro Husodo. Sesungguhnya penetapan sejarah seperti ini tidak benar, penentuannya seolah-olah tidak melihat pergolakan di

Indonesia

berabad-abad sebelumnya dimana abad tersebut sangat penuh pergolakan dan dinamika perjuangan menentang imprelisme Barat.

Sejarah mencatat, sewaktu Imprealisme Barat yang memplopori kapitalisme modern mendarat ditanah air kita dengan bendera ditangan kiri dan pedang terhunus ditangan kanan, maka patriot Islamlah yang pertama kali tampil kedepan dengan semangat menentang segala perampasan dan pemerkosaan Barat atas tanah air Indonesia raya ini.

Sejarah mencatat, perlawanan umat Islam Maluku dibawah pimpinan Sultan Babullah (1570-1583) terhadap Imprealisme Portugis. Perlawanan yang tidak mendapat bantuan dari golongan agama manapun. Bahkan umat yang sudah memeluk agama Katolik daim saja membiarkan perlawanan sengit yang dilakukan oleh patriot-patriot Islam itu.

Sejarah juga mencatat, perang Sabil dibawah pimpinan Sultan Agung Mataram (1613-1645) dibawah bendera Islam. Perlawanan-perlawanan itu menggambarkan dengan jelas betapa ruh dan dinamika Islam menguasai jantung kaum mujahidin kita.

Lalu lukisan sejarah menggambarkan betapa hebatnya perjuangan kemerdekaan dibawah pimpinan Pangeran Mangkubumi (1746-1755), peperangan Dipenogoro (1825-1830), peperanag Cirebon (1802-1806) dan segala peperangan di Banten yang dilakukan oleh pejuang Islam yang berpanjikan kalimah syahadah menentang kaum Imprealisme Barat.

Masih segar dalam ingatan kita, nama harum semerbak dari Tuanku Imam Bonjol pemimpin Perang Paderi di Minangkabau 17 tahun lamanya (1821-1838) dan dibawah pimpinan patriot besar Teuku Cik Ditiro.

Tampaklah bahwa sejarah peperangan kemerdekaan itu digerakan oleh Alim Ulama Islam yang dengan dasar Tauhid, Iman serta tawakkal kepada Allah SWT.

Berbahagialah para pahlawan Islam yang telah meninggalkan jejak jihad diatas debut sejarah bangsa kita.bahagia bukan karena hasil yang mereka lakukan, tapi berbahagia karena seluruh kehidupan mereka, telah digunakan uantuk memenuhi wajib suci dalam menjalankan drama sejarah dengan tiada menghitung laba rugi, gagal atau berhasil perjuangan mereka.

Dalam filosofi Islam, jihad dilakukan bukan karena mengharapkan balasan atau mengejar keuntungan atau hasil tapi karena menunaikan tugas dan menjalankan kewajiban yang dipikulkan Allah di atas kaum muslimin. Hasil kalah atau menang, gagal atau berhasil menjadi kadar ketentuan sang Pencipta. Tetapi yang jelas ketetapan sunatullah berbicara: bahwa suatu perjuangan yang dilengkapi dengan alat senjata dan organisasi yang sederhana akan di kalahkan oleh yang lebih cukup dan lengkap alat persenjataan dan organisasinya. Lihat saja perlawanan umat Islam berabad-abad itu, ternyata bisa dipatahkan oleh kaum Imprealisme barat yang lebih modern dan terorganisir.

Kegigihan berjihad itu, walaupun kalah modern dan kalah organisasi jihadnya, semua ditempuh bukan karena motivasi rasa nasionalisme atau materialisme semata, bukan sekedar cinta tanah air saja, tetapi lebih dari itu yakin Niat syariat-Nyadimuka bumi dalam arti yang seluas-luasnya.

Sumpah dan ikrar mereka adalah “INNASHALATI WANUSUKI WAMAHYAYA WAMAMAATI LIL LAHI RABBIL ALAMIN”

Namun mengapa setelah segala perjuangan itu dan setelah

Indonesia

mendapatklan kemerdekaannya, Islam dimarginalkan? Islam dikerdilkan? Jawabannya: pertama, walaupun Imprelisme telah hengkang dari tanah air kita, tapi kultur Imprelisme masih tertancap dalam bathin dua pertiga elit bangsa

Indonesia

. Kedua, selama kurang lebih 350 tahun masa Imprealisme itu, penjajah telah mencabut gigi dan kuku-kuku umat Islam lewat pendidikan dan pengajaran yang bertujuan
memisahkan antara agama dengan masalah kemasyarakatan dan sekaligus memisahkan Al-Qur’an dari soal-soal politik. Ketiga, kaym Imprealisme itu dulu tahu persis bahwa jika ummat Islam sadar dan bangkit dalam soal politik, maka kebangkitan itu merupakan badai dan gelombang raksasa yang maha dahsyat yang akan menumbangkan bangunan Imprealisme itu sendiri.

Dalam rangka memenuhi missinya itu, mereka mendidik beberapa gelintir anak bangsa, mulai dari sekolah rendah, menengah dan tinggi untuk kemudian dilepaskan keanak-anak

Indonesia

yang sudah intelek umenjadi pemimpin rakyatnya. Namun para intelek itu didoktrin mereka: “jangan bawa-bawa agama kedalam urusan politik” masjid dan agama tidak ada hubungannya satu sama lain. Aliran doktrin seperti ini didakwahkan terus memnerus sehingga menggurita sampai hari ini. Bahkan seringkali penulis mendengar langsung dari juru dakwah amatir, bahwa “agama adalah suci dan politik adalah keji”. Sungguh sebuah penghinaan terhadap agama.

Melihat kenyataan yang ada sekarang ini, ternyata usaha kaum penjajah itu berhasil dengan gemilang, tertanam begitu dalam di lubuk hati ummat Islam dan menjadi aqidah yang melekat bahwa agama harus dipisahkan dari politik. Umat Islam tidak menyadari bahwa agama dan politik adalah satu dan tak bisa dipisahkan. Ummat Islam menjadi lupa bahwa politik hanyalah cabang dari satu segi saja dari filosofi ajaran Islam.

Hari ini ketika

Indonesia

telah memasuki babak baru dalam bernegara dan setelah UUD 45-nya diamademenkan, tetap saja perjuangan segelintir orang yang masih ingin memperjuangkan tujuh kata dibelakang kata Ketuhanan Yang Maha Esa (dalam piagam

Jakarta

) kandas juga. Ironis sekali bahwa mayoritas penduduk mampu memperjuangkan syariatnya.

Penyebab utama dari kegagalan umat Islam dalam memperjuangkan Ideologinya itu terjadi karena masih banyak orang mengaku Islam tapi tidak berideologi Islam. Bahkan banyak dari elit bangsa atau partai yang berasaskan Islam tapi anti ideologi Islam. Selain itu ada juga segelintir orang dari elit partai Islam yang menyatakan ngeri jika syariat Islam diberlakukan di

Indonesia

. Jika syariat Islam diberlakukan, nanti polisi kerjanya hanya di musallah dan di mesjid saja untuk mengawasi oarang yang tidak shalat, (kata mereka). Sungguh suatu pernyataan yang amat sangat menghina Islam dan tidak pantas dilakukan oleh seorang elit partai Islam.

Itulah salah satu contoh politisi yang masuk kedalam barisan kaum muslimin bukan karena ideologinya, tapi hanya karena kursiologi. Sang politisi yang didadanya kosong dari ideologi Islam itu membawa adagium baru dalam kehidupan umat Islam sekarang, bahwa: Negara nomor Satu dan Agama nomor Dua. Kaidah baru ini sangat berbahaya, akan menjadi racun berbisa pada jantung perjuangan Islam.

Qs.9 : 25, mengatakan:

“Katakanlah olehmu Muhammad! Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, harta bendamu yang kau miliki, perniagaan yang kau khawatirkan kerugiannya, gedung tempat kediaman yang kamu senangi _ lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya dari berjuang membela dan menegakkan agama Allah, tunggulah sampai Allah mendatangkan azab yang pedih. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk pada kaum yang fasik.”

Ayat Al-Qur’an itu mengajarkan pada kita cara hidup dan cara berpikir bahwa segenap yang ada di sekeliling kita, semuanya itu tidaklah mungkin diletakkan melebihi tugas menegakkan Dinullah.

Cara berpikir para pemimpin yang meletakkan Negara nomer Satu dan Agama nomor Dua inilah yang menyebabkan kelemahan dan kehancuran umat Islam. Tapi ummat juga jangan salah faham agar jangan sampai berhenti menegakkan Negara. Ingatlah, bahwa negara hanyalah alat untuk menggapai ridha Allah dan bukan tujuan sejati.

“Janganlah alat dijadikan tujuan dan janganlah pula tujuan dijadikan alat”

M. Taufik Bilfagih.

Pemerhati Sosial dan Keagamaan

Indonesia

Tidak ada komentar:

Pages