(De) Nasionalisme Indonesia

Oleh: Merah Johansyah Ismail

"….Negeri kita sekarang sudah tidak dapat lagi disebut secara
sederhana—sebagai negeri dunia ketiga—sebutan tidak terhormat dalam
system dunia. Karena dunia pertama adalah negeri kaya dan demokratik,
negeri kedua adalah negeri maju teknologi namun komunis atau sosialis
dan dunia ketiga adalah sebutan untuk sisa negeri yang tidak masuk
dalam dua kategori karena mereka hanyalah sisa-sisa dari system dunia….."

--Emmanuel Subangun, "Negara Anarkhi" (2004)

Nusantara abad XVII hingga XIX merupakan kawasan perebutan bagi
ekspansi barat—transisi masyarakat barat menuju industrialisasi
menandai kolonialisasi di bagian timur dunia, begitulah nasib
nusantara sebagai negeri timur lengkap dengan imajinasi eksotika dan
sumber melimpah bahan baku industri dunia (raw material). Selama
kurang lebih 3 abad lebih, portugis, inggris hingga belanda
"menggilir" nusantara menghasilkan sebuah interaksi atau suatu
hubungan yang "ambigu"—perlawanan (resistention) di satu sisi dan
penerimaan (adopt-given) di sisi lainnya.

Perlawanan atau resistensi itu sebagai reaksi menghasilkan
nasionalisme, suatu kesadaran akan kedaulatan dan mempertahankan tanah
air. Walaupun dalam perjalanannya definisi nasionalisme baru dikenal
setelah politik etis di awal abad XIX yang disabdakan oleh ratu
Wilhelmina di belanda (Sartono Kartodirdjo; 1992). Sementara jika kita
setia dengan definisi term nationalism, maka reaksi awal sebelum
politik etis seperti perlawanan tokoh-tokoh rakyat, ulama, jemaat
thareqat dan raja-raja lampau nusantara juga dapat didefinisikan
nationalism dalam arti paling asasi yaitu reaksi mempertahankan tanah
dan kedaulatan.

Sebagai sebuah kategori sejarah kolonialisme memang sudah kita lalui,
sekarang kita melalui situasi sejarah yang disebut pasca kolonialisme.
Namun imperialisme sebagai sebuah sifat dasar kolonialisme masih belum
mampu kita enyahkan. Dalam sebuah orasi dan bahasa menggelegar di
hadapan peserta KTT Non-blok 1955 di bandung, soekarno mengingatkan
bahwa revolusi belum selesai. Sebagai peringatan akan hantu
imperialisme tersebut.

Priyayi, Involusi dan Nasionalisme Kelas Menengah

"…kau tahu, le. Ini langkah yang sangat penting dalam kehidupanmu. Kau
mulai masuk dalam kalangan priyayi. Kau bukan petani lagi duniamu
sekarang sudah lain, le. kau harus hati-hati membawa diri, harus
patuh, jujur dan setia kepada atasan. Kau pasti akan naik pangkat dari
gupermen, jalan menjadi priyayi sekarang ada di depanmu, le…"

--Nasehat Kepada Sastrodarsono Tokoh Utama Roman Umar Kayam—"Para
Priyayi", Bersetting Tahun 1910 Di Hindia Belanda—

setelah tahun 1900 muncul kelompok yang dinamakan priyayi baru
kebanyakan mereka memanfaatkan kesempatan yang lebih luas memperoleh
pendidikan barat lanjutan, masa itu adalah masa politik etis. Para
priayyi baru ini mendapatkan pekerjaan dan status social baru berkat
jenjang pendidkamn yang dinikmatinya. Kelompok priyayi baru ini
merupaka sumber utama nasionalsime, kebanyakan anggota Boedi oetomo,
Comitee voor het javaans nationalism dan jong java juga termasuk
kelompok ini .

Lahirnya politik etis awal abad XIX, merupakan titik awal lahirnya
perlawanan kelas menengah Indonesia, yaitu kaum terdidik dan cendekia.
Jika sebelumnya perlawana dibangun langsung oleh kekuatan rakyat atau
tokoh rakyat yang populistik maka era politik etis ini menandai
lahirnya perlawanan baru dan menutup fase perlawanan populistik
menjadi perlawanan ala kelas menengah lewat organisasi politik dan
organisasi pergerakan sebagai mediumnya. Di sisi lain sebagai sebuah
kebijakan politik etis lahir dalam konteks dinamika politik negeri
belanda sendiri, pengaruh inggris setelah abad XV di belanda
menghasilkan perubahan struktur monarkhi belanda menjadi monarkhi
parlementer, politik etis adalah salah satu pengaruh dari partai
liberal kala itu . Biar bagaimanapun nasionalisme masih menyimpan
cacat bawaan yang problematik. Di nasionalisme awal Indonesia abad XIX
tersebut terjadi ambiguitas—nasionali sme manjadi medium perlawanan
sekaligus medium adopsi system nalar ala eropa yang ketika itu memang
sedang dibanjiri oleh wacana nasionalisme dan humanitarian sebagai
efek dari tradisi pencerahan eropa.

Ambiguitas itu menjadi mapan setelah sebelumnya melalu fase involusi
seperti yang diungkapkan geertz seorang antropolog amerika dalam
teorinya tentang involusi pertanian di indonesia dilalui. Involusi
adalah lawan dari evolusi, geertz menyatakan system pertanian dan
perkebunan massal yang terapkan oleh belanda yang dikenal dengan
Sistem tanam paksa (cultuur stelsel) di jawa berdampak hebat pada
konstruk sosio-budaya dalam ruang bathin masyarakat nusantara.

Jika sebelumnya praktik pertanian rakyat jawa hanya sekedar memenuhi
kebutuhan konsumsi, dengan datangnya belanda dengan kepentingan
ekonomisnya, perkebunan massal utk diperdagangkan dan diangkut ke
negeri belanda. Sejak itulah terjadi ekonomisasi sektor pertanian
rakyat yang dimapankan oleh orde baru dengan nama berbeda namun dengan
praktik yang sama atas nama intensifikasi pertanian pada tahun 80-an
(revolusi hijau). Terobsesi menjadi menjadikan hasil pertanian secara
massal secara kapitalistis hingga semua benih tradisional diganti
menjadi benih kimiawi yang digenjot dapat menghasilkan hasil tani
berkali-kali lipat sesuai dengan nafsu pasar orde baru pencokokan
system pertanian yang berpengaruh pada system nalar itulah yang
disebut geertz sebagai involusi.

Involusi Nasionalisme Pembangunan

Persoalan ini ditambah lagi oleh sesat pikir para pemegang dan penentu
kebijakan di tingkat nasional maupun regional selama ini tentang "apa
itu pembangunan" telah menggiring nalar kita menjadi nalar bangsa
daratan ala eropa (land based oriented development) yang hanya
memiliki konsep pembangunan daratan pula, hingga potensi sektor
pembangunan pesisir dan kepulauan sebagai alternatif lain bahkan tidak
terpikirkan . Jikalau mau jujur negara Indonesia bukanlah negara
kontinen, Indonesia bukanlah sebuah benua daratan yang luas, tetapi
negara kepulauan yang luas, yang terdiri dari 17.586 pulau besar dan
kecil, dilikungi laut oleh tiap-tiap pulau (Dimyati;2006) .

menurut data statistik jikalau kita bersungguh-sungguh dengan "cetak
biru" mengenai pembangunan kerakyatan yang jelas tentu saja akumulasi
ekonomi nasional dapat dipacu juga dari sector pembangunan pesisir
atau kepulauan (Archipelagos based oriented development) ini. Dalam
konteks yang lain Indonesia sebagai negara maritim-kepulauan besar
harus berani menegakkan kepala sebagai bentuk kepercayaan diri dan
lepas dari dikte ketat neo-kapitalisme global.

Menata Gerak, Menyusun Paradigma Berbasis Realitas

"…Kita bagaikan terbungkuk menanggung beban, jangankan berdiri tegak
sementara kita digerogoti dari dalam. Keawasan angkatan kita memudar
ketimbang angkatan terdahulu dalam menyimak gerak-siklus internasional
hingga selalu terjebak oleh kepentingan TNC's, MNC's. hingga sekarang
pasca tan malaka kita belum mampu menyusun narasi persatuan perjuangan
dan paradigma yang berbasis realitas yang diharapkan memandu gerakan.
Sementara dari dalam transisi panjang membuat ilusi kebimbangan,
sebagian dari kita ada yang tak sabar berbuat khianat sebagian lagi
menjadi fatalis dan diluar kita biarkan kekuatan kekuasaan lama
mengkonsolidasikan diri untuk kembali membajak reformasi ini ditengah
jalan…"

Nalar penyusunan gerakan di Indonesia setelah Tan Malaka lebih
bersifat teoritik-akademik (logos), yakni diawali dengan berbagai
konsep ideal tentang masyarakat atau negara yang berasal dari luar.
Celakanya, konsep-konsep yang dipakai di kalangan akademis kita hampir
seluruhnya beraroma liberalisme. Sehingga di tingkat intelektual pun
tidak ada kemungkinan untuk meloloskan diri dari arus liberalisme,
yang di level politik dan ekonomi maujud dalam neoliberalisme. Dengan
kata lain, dalam upaya melawan neoliberalisme, banyak gerakan
terperangkap di langkah pertama yakni tersedot oleh konsep-konsep
liberalisme. Demokrasi, HAM, civil society, sipil vs militer,
federalisme dll. difahami sebagai agenda substansial.

Padahal dalam lapangan politik dan ekonomi, kesemuanya tadi nyaris
menjadi mainan negara-negara neoliberal. Maka boleh dikata, semenjak
dari pikiran gerakan semacam itu memang tidak akan pernah berhasil.
Dengan kata lain persoalan sulitnya membangun paradigma berbasis
kenyataan di PMII itu pararel dengan kesulitan membuat agenda nasional
yang berangkat dari kenyataan Indonesia. Konsekuensi yang harus
diambil dari penyusunan paradigma semacam itu adalah, untuk sementara
waktu organisasi akan tersisih dari pergaulan gerakan mainstream.
Gerakan harus mampu berkayuh di antara gelombang panjang dan gelombang
pendek, agar gelombang panjang tetap terkejar dan gelombang pendek
tidak cukup kuat untuk menghancurkan biduk kita yang rapuh.
Bagaimanapun untuk membangun gerakan kita harus mendahulukan realitas
ketimbang logos.

* Penulis adalah Relawan Peneliti di Naladwipa Institute Samarinda

1 komentar:

girang mengatakan...

ismulhaq.com

Pages