HIKMAH HAJI

HIKMAH HAJI
Sebuah Bacaan dari Ali Syari’ati

Oleh : Muh. Taufik bill fagih
Pelajaran apakah yang dapat kita petik dari pengalaman atau tentang pemahaman mengenai ibadah haji? Namun pertama-tama dan yang utama adalah apa arti dari haji itu? Esensi dari haji adalah evolusi manusia menuju Allah. Haji adalah sebuah contoh simbolis dari filsafat penciptaan Adam. Agar dapat memahami hal ini kita dapat mengatakan bahwa di dalam kegiatan ibadah haji berbagai hal dipertunjukkan secara bersamaan: “penciptaan”, “sejarah”, “keesaan”, “ideologi Islam”, dan Ummat
Panggilan Yang Terjawab
Ibadah haji pada hakikatnya adalah perjalanan menghampiri Allah SWT dengan mendatangi rumah-Nya, baitullah, yaitu Ka'bah di Makkah. Sebagai perjalanan mendekati Allah SWT, haji harus dilakukan secara tulus, terlepas dari motif-motif yang bersifat duniawi, seperti mencari pangkat, status sosial, atau berbangga diri.
Ketulusan hati itu tampak jelas dalam ayat Al-Quran yang memerintahkan haji. ''Karena Allah SWT, wajib bagi manusia untuk menunaikan ibadah haji, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah.'' (QS Ali Imran: 97). ''Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah SWT.'' (QS Al-Baqarah: 196). Perintah haji dalam dua ayat di atas, ditekankan harus lillah, tulus karena Allah SWT. Redaksi demikian tidak ditemukan di ayat lain yang isinya perintah untuk beribadah, seperti shalat, zakat, dan puasa. Meskipun, pada dasarnya semua ibadah harus lillah, terlebih lagi haji yang menuntut perjuangan dan kerja keras, lahir dan batin dalam waktu yang cukup lama.
Bagi, Ali Syari'ati, haji dipandang sebagai gerakan (harakah) menuju kesempurnaan. Dengan sendirinya dibutuhkan bekal atau energi. Dan bekal yang terbaik adalah takwa. ''Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.'' (Al Baqarah: 197). Bekal takwa itu, menerut Imam Ghazali , mengandung beberapa makna yang perlu diperhatikan oleh para hujjaj. Pertama, ongkos naik haji dan semua biaya yang digunakan adalah halal, bukan hasil curian. Sebab, harta yang halal akan mencerahkan hati dan melapangkan perjalanan.
Kedua, para hujjaj tidak membawa barang dagangan agar hati mereka tidak bercabang dan dapat berkonsentrasi untuk ibadah. Ketiga, para hujjaj dianjurkan banyak melakukan amal kebajikan dalam perjalanan dan selama di tanah suci. Keempat, menjunjung tinggi moralitas dan keluhuran budi pekerti dengan tidak berkata kotor (rafats), tidak melanggar hukum-hukum Tuhan (fasik), dan tidak berbantah-bantahan dengan maksud merendahkan orang lain (jidal).
Imam Ghazali menyebut satu lagi bekal yang harus diperhatikan, yaitu sikap sabar dan tahan uji. Semua kesulitan, jelasnya, akan mampu dihadapi bila benar-benar lillah, tulus karena Allah SWT. Berbagai kesulitan harus dihadapi dengan penuh kesabaran sebagai bagian dari tanda-tanda ke-mabrur-an haji. Dengan berbekal energi takwa, para hujjaj insya Allah akan meraih haji mabrur. Haji yang baik, diterima Allah SWT, dan mendapat perkenan-Nya.
Haji Penuh Dengan Simbolik
Pelajaran apakah yang dapat kita petik dari pengalaman atau tentang pemahaman mengenai ibadah haji? Namun pertama-tama dan yang utama adalah apa arti dari haji itu? Esensi dari haji adalah evolusi manusia menuju Allah. Haji adalah sebuah contoh simbolis dari filsafat penciptaan Adam. Agar dapat memahami hal ini kita dapat mengatakan bahwa di dalam kegiatan ibadah haji berbagai hal dipertunjukkan secara bersamaan: “penciptaan”, “sejarah”, “keesaan”, “ideologi Islam”, dan Ummat .
Di dalam “pertunjukkan” tersebut ada syarat-syarat sebagai berikut: Allah adalah sutradaranya; tema yang diproyeksikan adalah aksi dari orang-orang yang terlibat; Adam, Ibrahim, Hajar, dan Syeitan merupakan pelaku-pelaku utamanya; skena-skenanya adalah Masjid Al-Haram, Tanah Suci, Mas’a , Arafat, Masy’ar, dan Mina; symbol-simnol yang penting adalah Ka’bah, Shafa, Marwa, siang, malam, matahari terbit, matahari terbenam, berhala-berhala dan acara berkorban; pakaian dan make-up adalah ihram, halgh, dan tasghir, dan yang terakhir sekali – yang memainkan semua peranan semua “pertunjukan” haji adalah ummat atau jamaahnya.
Al Hikmah
Haji, Menghampiri Allah
Salah satu hikmah yang dapat dipetik dari ibadah haji adalah terjadinya “pertemuan indah” antara hamba dan sang Khalik (menghampiri Allah). Ibadah haji dilakukan pada bulan Dzulhijjah yang sangat dimuliakan. Dikota Makkah yang merupakan kota aman dan damai serta kota yang senantiasa terasa suasana ibadah dimana setiap manusia sangat bebeas untuk menghadap bahkan bertemu dengan Allah.
Ibadah haji mencerminkan kepulangan seorang manusia kepada Allah yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan dan yang tak diserupai oleh sesuatu apapun. Pulang kepada Allah merupakan sebuah gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan, nilai dan fakta-fakta. Dengan melakukan perjalanan menuju keabadian ini manusia tidak akan “sampai” kepada Allah; Dia hanya memberikan petunjuk yang benar, tapi Dia bukan merupakan tujuan yang hendak dicapai.
Menunaikan haji sama halnya menjumpai sahabat-terbaik yang telah menciptakan manusia sebaik-baik ciptaan dari makhluk lain. Allah sedang menantikan. Dengan demikian kita mencoba untuk meninggalkan istana-istana kebesaran, gudang-gudang kekayaan dan kuil-kuil yang menyesatkan. Manusia – melalui ibadah haji, akan melepaskan diri dari perbuatan serigala (sebuah tindakan penindasan bagi orang-orang yang dipimpinnya).
Memasuki Miqat Dan Menjadi Satu
Allah menciptakan manusia sangat beragam (the pularism of human). Manusia terpecah-pecah menjadi ras, bangsa, kelas, kelompok, dan keluarga yang masing-masing diantaranya memiliki status, nilai, nama dan kehormatannya tersendiri. Namun, berada di Miqat yang digunakan hanya sebuah kain kafan, sehelai kain putih yang sederhana. Dan pakaian ini digunakan oleh seluruh manusia yang ditanah airnya menonjolkan symbol-simbol kekuasaannya.
Peristiwa haji – seperti yang dikatakan sebelumnya, adalah merupakan sebuah “gerakan”. Manusia bertekad kembali kepada Allah. Segala keakuan dan kecenderungan yang mementingkan diri sendiri terkubur di Miqat. Manusia menyaksikan tubuhnya sendiri yang mati dan menziarahi kuburannya sendiri. Di Miqat, manusia ditunjukkan dan di ingatkan apakah tujuan hidup yang sesungguhnya. Dengan kata lain, di Miqat manusia mengalamai kematian dan kebangkitan kembali.
Al Hikmah II
Ibadah dalam Islam selain merupakan bentuk pengabdian dan kepasrahan kepada Allah SWT juga merupakan proses pembinaan diri, peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Ibadah mempunyai peran pembangunan moral. Hikmah dan manfaat ibadah itu ada yang dijelaskan secara khusus dalam al-Qur’an dan Hadits dan lebih banyak lagi yang dapat dirasakan seseorang yang mengamalkannya.
Pengalaman spiritual dari berbagai macam ibadah terutama dalam ibadah haji sangat bervariasi, dan beragam bobot kualitasnya. Semakin berkualitas ibadah seseorang akan semakin berkualitas pula dampak batin dan kesan-kesan rohaniah yang didapatkannya.
Ibadah haji mengandung berbagai hikmah dan manfaat, antara lain sebagai berikut:
1. Penyerahan diri secara sungguh-sungguh kepada Allah SWT
2. Memperoleh kenikmatan tersendiri dalam taqarrub, ibadah dan bertaubat kepada Allah SWT
3. Latihan disiplin diri yang tinggi untuk mematuhi berbagai macam peraturan.
4. Usaha mewujudkan persaudaraan yang sungguh-sungguh sesama umat Muslim
5. Perwujudan kebersamaan dengan sesama jama’ah
6. Perwujudan kesederhanaan, kesucian dan kebersihan diri
7. Usaha yang tepat untuk memperoleh ketenangan batin
8. Usaha yang tepat agar do’a dan permohonan banyak dikabulkan oleh Allah SWT
9. Usaha yang tepat untuk memohon ampunan dan bertaubat kepada Allah SWT
10. Latihan penguasaan diri dan pengendalian emosi
11. Usaha untuk dapat menghayati perjalanan hidup dan perjuangan para Nabi dan Rasul Allah, khususnya Nabi Ibrahim as, Nabi Ismail as, dan Nabi Muhammad saw, juga Nabi Adam as.
12. Proses pemantapan untuk pandai melakukan instropeksi diri
13. Perwujudan kebersmaan hidup dan melatih hidup tolong menolong
14. Usaha untuk lebih memantapkan keyakinan terhadap kebesaran dan keagungan Allah SWT.
15. Usaha untuk membersihkan harta dan menghilangkan sifat-sifat kikir, tamak dan lain-lain.
Tawaf
Tawaf (mengelilingi Ka’bah), melambangkan sebuah proses perjuangan untuk mencapai suatu tujuan. Kemanapun kita pergi tetap terikat dengan sumbu Tauhidullah yang dilambangkan dengan bangunan Ka’bah. Untuk mencapai suatu cita-cita, hendaknya tetap terikat dengan semangat Tauhidullah. Semakin dekat kepada Baitullah, semakin dekat jarak yang ditempuh tapi semakin berat. Dan sebaliknya, semakin jauh jarak kita dari Baitullah, semakin luas jarak yang harus ditempuh.
Thawaf juga melambangkan sebuah usaha untuk mencapai suatu tujuan. Ada yang cepat sampai, tapi sekian orang tersakiti. Dan ada yang santai tapi tak pernah sampai, atau mungkin lambat sampai tujuan. Mereka yang sukses adalah yang sampai di tujuan secara wajar dan tidak menyakiti orang lain.
Thawaf juga mengandung ajaran tentang usaha mencari dan memanfaatkan peluang dengan cerdas, lancar namun santun. Selama thawaf boleh membaca do’a apa saja, tapi diawali dengan ucapan atas nama Allah Yang Akbar. Setelah berbagai do’a diucapkan, maka pada arah terakhir setelah rukun Yamani, do’a itu bermuara kepada permohonan kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan terhindar dari api neraka.
Ali Syariati mengungkapkan, ketika melakukan thawaf kita tidak dapat memasuki atau berhenti disisi Ka’bah. Kita harus mencebur dan hilang di tengah orang ramai. Kita harus terbenam dan hanyut di dalam gelora lautan manusia yang gegap gempita dan yang sedang bergerak mengelilingi Ka’bah. Demikianlah yang harus kita lakukan untuk datang ke rumah Allah. Apakah yang dapat disaksikan atas peristiwa ini? Ka’bah yang berdiri kokoh dikelilingi oleh gelombang yang menggelora, gelombang yang terdiri dari manusia-manusia yang berpakaian serba putih! Mereka semua mengenakkan pakaian dengan pola dan warna yang sama. Di antara mereka tidak ada perbedaan dan kelebihan pribadi; yang terlihat oleh kita hanyalah totalitas dan universalitas ummat manusia !.
Sa’i
Sa’i juga melambangkan suatu perjuangan untuk memperoleh “sesuatu”. Lari mengejar ke atas bukit Shafa dan Marwah. Dan kemudian menatap Baitullah lalu turun kembali, dan pada kedua-duanya tidak didapatkan sesuatu. Ketika kita berhadapan dengan situasi semacam itu, maka yang terbaik adalah pasrah total kepada Allah SWT dengan membesarkan Allah dan mentauhidkan Allah.
Sa’i adalah semacam napak tilas apa yang telah dialami oleh Siti Hajar ketika dia dan bayinya (Isma’il as) dalam kehausan, sementara mereka berdua di daerah tandus tak berumput perpohonan, tak setetes air pula yang mereka dapatkan. Perjuangan, pengorbanan, kepasrahan, taqarrub dan tawakkal serta do’a mereka dikabulkan Allah SWT sehingga memancarlah air Zam-zam yang hingga kini tidak pernah kering itu.
Sa’i akan mengingatkan seorang jama’ah haji untuk bersyukur kepada AllahSWT< kepada ibunya yang telah membesarkan dan mendidiknya demi membahagiakan anaknya.
Bagi Syari’ati, pada Sa’i terlihat persatuan yang sesungguhnya karena di dalamnya segala bentuk, pola, warna, derajat, kepribadian, batas, perbedaan, dan jarak dihancurkan. Yang kita saksikan adalah manusia-manusia yang polos. Kecuali keyakinan, kepercayaan, dan aksi tak ada satupun yang menonjol. Tidak ada tokoh-tokoh yang dikemukakan. Ibrahim, Ismail, dan Hajar hanyalah sekedar nama-nama dan kata-kata serta simbol-simbol. Apapun yang ada bergerak secara terus-menerus – humanitas dan spiritualitas dan di antara keduanya yang ada hanyalah disiplin. Selanjutnya, inilah yang dikatakan sebagai haji, tekad untuk melakukan gerak abadi ke suatu arah yang tertentu. Demikian pulalah pergerakan seluruh alam semesta ini.
Arafah
“Haji adalah wukuf di Arafah”
Semua jama’ah haji berbusana sama, mereka berihram. Simbolik ketika semua mansuia berkumpul di padang Mashyar. Semua mereka melepaskan identitas kebangsaan, kedudukan, status sosial dan kebanggaan dunia. Mereka memperlihatkan dan menunjukkan sikap rendah diri terhadap Allah SWT. Permohonan ampun diungkapkan kepada Allah SWT. Ada perasaan bebas dari segala beban dan dosa kepada Allah ketika wukuf usai dilaksanakan. Ada keyakinan bahwa setiap do’a yang dimunajatkan yakin dikabulkan. Datang semangat melakukan amal kebajikan lebih dahsyat. Dan terasa rahmat Allah menentramkan jiwa.
Meninggalkan Ka’bah dan menuju Arafat melambangkan awal kejadian manusia. Manusia dan “pengetahuan” tercipta dalam waktu yang bersamaan. Percikan cinta yang pertama sekali di dalam pertemuan Adam dengan Hawa menyebabkan mereka saling memahami. Itulah petanda pertama dari pengetahuan. Adam mengetahui isterinya mempunyai jenis kelamin yang berbeda darinya dan mempunyai asal serta sifat yang sama dengan dirinya sendiri. Sebagai akibatnya, dari sudut pandangan filosofis kita dapat mengatakan bahwa eksistensi manusia adalah seusia dengan eksistensi pengetahuan, dan dari sudut pandangan ilmiah bahwa manusia bermula dengan pengetahuan.
Hikmah jamarat
Usai wukuf di Arafah dan jama’ah haji menuju Musdalifah dan bermalam beberapa saat, lalu melanjutkan perjalanan menuju Mina, tempat dimana Nabi Ibrahim as melaksanakan perintah Allah SWT untuk menyembelih putera tersayangnya (Isma’il as). dalam perjalanan menuju Mina, Nabi Ibrahim as (juga Isma’il as) dibujuk dan dirayu serta digoda syetan agar Ibrahim mengurungkan niatnya. Dan setiap tempat Iblis menggoda, Nabi Ibrahim dan Isma’il as melontarkan batu tertuju kepada Iblis sebagai bentuk perjuangan dan perlawanannya pada setiap bujuk rayu Iblis.
Begitulah Iblis akan selalu tidak pernah diam dan terus berusaha mencari cara dalam menggoda setiap manusia untuk mentaati perintah Allah. Sekecil apapun kadar kebaikan dan ibadah yang dilakukan manusia, godaan Iblis selalu saja datang.
Proses jamarat, mengingatkan setiap jama’ah haji dan kaum Mu’minin bahwa Iblis selalu berusaha menghalangi orang-orang beriman untuk melakukan kebajikan. Karenanya dalam setiap melakukan aktifitas yang baik, hendaknya selalu memohon pertolongan Allah SWT agar termasuk disegani syetan, menjadi orang yang Mukhlis dalam beribadah kepada Allah SWT. Demikian pentingnya peringatan seperti itu, sehingga untuk melontar jumrah dilakukan tidak hanya sekali saja, akan tetapi berkali-kali, sekurang-kurangnya selama tiga hari, sampai empat hari, yang dimulai sejak hari ke 10 Dzulhijjah dan hari Tasyriq (11,12, dan 13 Dzulhijjah). Syetan hinggap dan merayap dalam diri manusia bagaikan jalannya darah.
Jumrah juga melambangkan perjuangan dasyat untuk mencapai suatu tujuan memperoleh kasi sayang Allah SWT dan terkutuknya syetan. Seseorang yang melakukan jamarat dididik untuk pandai mencari peluang dan memanfaatkannya. Mereka yang cerdik dan berani akan segera sampai di tujuan. Tanpa harus menyakiti orang lain. Seseorang yang pengecut dan penakut tidak memiliki nyali serta keberanian untuk menghadapi dan menyadari tantangan serta kesemrawutan, oleh karenanya mereka tidak akan menemukan kenikmatan sebagai buah perjuangannya.
Orang-orang yang ikhlas dalam menjalani hidup dan mentaati setiap peraturan dan perintah Allah akan selamat dari godaan Iblis, meski yang dihadapainya sangat besar.
Keberhasilan menangkis bujuk rayu Iblis diikuti dengan segera melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih puteranya. Di saat prosesi penyembelihan segera dimulai, terdengar seruan untuk menghentikan kurban agung itu. Sebab perintah untuk menyembelih putera itu hanyalah sebagai satu ujian belaka. Dan digantilah Isma’il dengan sembelihan yang lain yakni binatang. Dan binatang itulah yang selanjutnya dikurbankan.
Melaksanakan qurban dihari raya Qurban adalah mengikuti millah atau sunnah Nabi Ibrahim as yang dilestarikan dalam syariat Nabi Muhammad saw yang berlaku hingga hari kiamat. Menyembelih binatang kurban termasuk syi’ar kepada Allah SWT yang memberikan manfaat bagi manusia.
Yang dalam pelaksanaan penyembelihannya hendaknya disertai dengan menyebut nama Allah. Dan setelah binatang qurban disembelih hendaknya dibagi-bagikan untuk dikonsumsi faqir miskin sedang shahibul qurban (orang yang berqurban) boleh ikut menkonsumsinya juga.
Qurban hanya akan diterima oleh Allah SWT apabila dilakukan atas dasar taqwa, sebab yang akan sampai kepada Allah SWT bukan daging dan darahnya, melainkan nilai kepatuhan dan ketakwaan yang mendasari ibadah kurban. Karena ketakwaan inilah yang akan menjadi penilaian Allah SWT. Wallahu ‘alam

Tidak ada komentar:

Pages