PErempuan Berperan

Perempuan Penjual Lemang
Menantang Maskulinitas Pasar

Oleh: Merah Johansyah Ismail

Samarinda, Kaltim Post (12/12). Di saat perdebatan tentang peran perempuan di ruang publik masih sebatas berbentuk “perang kata-kata” di parlemen, kemudian feminisme yang diperbincangkan dan diteliti di kampus-kampus hanya sejauh akademisme—jauh diluar hiruk pikuk itu, potret perempuan penjual lemang di sudut jalan pulau sebatik, kota Samarinda memberikan aroma yang berbeda, seakan membuktikan bahwa feminimitas berupa kelembutan, lemah-gemulai dan nilai-nilai keperempuanan lainnya dapat menjadi “senjata” berhadapan dengan Maskulinitas pasar dan angkuhnya modernitas.

Di malam hari, Jika anda—para pembaca—melintas di seputar persimpangan Jalan Pulau Sebatik, Samarinda. diantara gedung-gedung berdiri tegas dan bisingnya lalu lalang kendaraan bermotor tengoklah disepanjang trotoar jalan tersebut, anda akan menemukan sebuah pemandangan yang agak berbeda. Sederet perempuan penjual lemang, ditemani masing-masing dengan lapak, meja kecil dan lampu minyak sederhana. Hampir tiap malam para perempuan dari yang berusia sekitar 23 tahun hingga 50 tahun itu setia setiap malam menunggui lapaknya, yaitu menjual lemang, makanan tradisional yang terbuat dari beras ketan dan dibungkus oleh daun pisang. Malam itu terdapat 8 lapak perempuan penjual lemang, mereka biasanya mulai berjualan dari pukul 5 sore hingga pukul 12 malam

Fatimah (40 tahun) adalah satu diantara deretan perempuan tersebut, ia mengatakan sudah memulai berjualan sejak ia masih “gadis” hingga sekarang ketika sudah memiliki 4 orang anak. Ketika ditanya mengapa ia memilih berjualan lemang ketimbang memilih berdagang yang lain, ia mengatakan bahwa berdagang lemang menjadi tradisi di keluarganya yang dimulai oleh nenek-neneknya, jauh sebelum ia lahir. Ia juga menuturkan semua pedagang lemang yang ada di trotoar Jalan Pulau Sebatik ini pun masih memiliki ikatan keluarga. Begitu pula dengan pemilihan tempat berjualan, menurut pengakuan Fatimah, nenek-nenek mereka pun dahulu juga berjualan di tempat yang sama dan berjualannya pun selalu bersama-sama. Bagi mereka “hukum besi” pasar yang beraroma kelelakian yaitu keras dan ketatnya persaingan pun dimaknai berbeda, “kami tidak iri satu sama lain karena Tuhan memberi rezeki masing-masing kok” ketus Fatimah.

Fatimah, perempuan berdarah Banjar-Samarinda ini pun menjelaskan resep dan proses pembuatan lemang, ia harus bangun pagi hari setiap hari untuk berbelanja dan mulai memasak lemang ditengah hari. Lemang sendiri terbuat dari beras ketan yang dipanggang dengan cetakan bambu. Rasanya pun gurih, Per-harinya keuntungan kotor yang diperoleh Fatimah bisa mencapai Rp 30.000,- hingga Rp 50.000,-, namun jika sedang ramai seperti acara di Kantor Gubernur dan “borongan” dari Dinas-Dinas atau Kantor-Kantor, ia bisa mengantongi keuntungan kotor sampai sekitar Rp 150.000,- Per-harinya.

Selain itu sudah menjadi kelaziman bagi mereka bahwa penjual lemang pun adalah seorang perempuan, “…lemang itu mulai dari belanja di pasar, dimasaknya hingga dijualnya pun dilakukan oleh perempuan semua…” ujarnya nampak menegaskan sambil terkekeh-kekeh. “Perempuan” dan “Lemang” merupakan “satu bangunan” yang keduanya tak bisa saling dipisahkan, tanpa penjual perempuan, lemang bagaikan kue atau jajanan biasa yang mudah ditemukan di etalase-etalase penjaja kue biasanya.

Kini modernitas kembali menantang mereka—para perempuan penjual lemang—sejak mendapat perhatian publik, lemang sekarang sudah dijajakan hingga ke pusat perbelanjaan, di etalase-etalase hotel sebagai makanan tradisional dan khas bersaing dengan “brownies” dan ragam kue tart modern lainnya, bahkan kabarnya, akan diboyong untuk dijual dan dipamerkan ketika PON 2008 Nanti, akankah lemang masih setia pada makna asalnya yang intim dengan denyut kehidupan perempuan?, hanya waktu yang bisa menjawabnya.**



Durasi pengetikan: 23 Menit
Ngedit: 5 menit

Tidak ada komentar:

Pages