Keracunan Ilmu

Keracunan Ilmu
Oleh : M. Taufik Bilfagih
Pernah membaca novel best seller karya Andrea Hirata, Laskar pelangi? Atau menonton versi filmnya? Bagaimana tanggapan anda? Pasti terkesan. Pembaca atau penonton Laskar Pelangi semacam mendapat ‘sihir’ Andrea Hirata. Bahkan salah satu pembacanya pernah berucap “Perjuangan Andrea, patut dijadikan contoh buat anak-anak sekarang. Dengan sarana dan pra-sarana apa adanya Andrea bisa menamatkan SD, SMP, SMA-nya di Pulau Belitong, dan kemudian melanjutkan di bangku universitas. Dan akhirnya menyelesaikan S2-nya di Prancis. Sehingga bekerja di BUMN, PT TELKOM, sebagai seorang instruktur.” (chanleo19, Bandung).
Nurhady Sirimorok, dalam bukunya Laskar Pemimpi; Andrea Hirata, Pembacanya dan Modernisasi Indonesia, menganalisa komentar chanleo19 di atas, bahwa; seolah Pendidikan yang terbaik adalah sekolah formal, dan itu harus sampai S2. Dan sebaik-baik S2 adalah S2 di luar negeri, dan sebaik-baik luar negeri adalah Eropa. Setelah itu tentu saja pekerjaan. Kemudian, pekerjaan yang paling diimpikan sekarang, yang membuat anak-anak muda rela antri saat mendaftar, yaitu pegawai negeri. Dan pegawai negeri yang paling baik adalah BUMN. Berbeda dengan pegawai negeri lain, pegawai BUMN bergaji lebih besar. Pegawai negeri bergaji swasta, kata sebagian orang. Inilah impian sempurna sebagian besar orang Indonesia.
Kita tinggalkan persoalan di atas. Coba kita lirik tentang sosok Lintang yang digambarkan Andrea dalam novelnya. Lintang adalah anak jenius yang menguasai ilmu matematika, hitung-hitungan IPA, biologi dan bahasa Inggris. Dia penguasa sains yang menjelma sebagai azimat pembangkit semangat dan kepercayaan diri, penentu kemenangan sekolah Muhammadiyah ketika menghadapi cerdas cermat. Dalam novelnya, Andrea telah melantik Lintang sebagai anak yang luar biasa cerdas. Ikal meramal “… ia akan berkembang menjadi manusia paling jenius yang pernah kujumpai seumur hidupku” (hal. 15, Laskar Pelangi).
Namun sayang, Lintang tidak bisa menggunakan penguasaan ilmunya ketika mencoba mengusir seekor buaya besar yang menghalangi perjalanannya ke sekolah yang berjarak 40 kilometer. Ilmunya tak berlaku disaat itu. Menghalau seeokr buaya tidak bisa dipecahkan dengan teori matematika yang dikuasai Lintang. ‘Ilmu’ IPA-nya pun hanya diam. Apalagi penguasaannya dengan bahasa Inggris tidak bisa diterapkan. Terlihat, ilmu-ilmu formal tersebut tidak bisa digunakan untuk mengatasi masalah sehari-hari yang kerap tidak dianggap ilmiah. Lintang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan canggih di lomba cerdas cermat tetapi sulit digunakan untuk mengusir buaya, meski ilmu itu bersemayam di kepala sang jenius. Lintang menyerah kepada BODEGA, manusia yang dianggap aneh di kampungnya. Tapi tanpa menguasai ilmu formal ala Lintang, dialah yang justru mampu mengusir buaya.
Kasus Lintang di atas, mengingatkan saya pada sebuah kisah yang pernah ditulis Jalaluddin Rummi. Konon, ada seorang petani ingin menjual sekarung gandum ke pasar. Ketika satu karung gandum itu dimuatkan di atas punggung untanya, karung tersebut selalu jatuh. Setelah berfikir keras, ia mengisi satu karung lagi dengan pasir. Ia merasa bahagia karena sudah menemukan pemecahan yang spektakuler. Dalam keadaan setimbang, kedua karung gandum itu bertengger di samping untanya.
Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan orang yang tampaknya miskin. Tubuhnya kurus, pakaiannya lusuh, dan tidak beralas kaki. Ketika duduk bersama, beristirahat, petani menyadari ternyata kawannya yang miskin itu sangat bijak. Ia mengetahui banyak hal. Menguasai berbagai macam ilmu. Si miskin itu mengenal tokoh-tokoh besar, kota-kota besar, dan gagasan-gagasan besar. Sang petani terus takjub dengan kepintarannya. Ia menanyakan apa yang dibawa dalam untanya. Petani menjawab satu berisi gandum dan yang satunya pasir. “orang bijak” itu tertawa, “Mengapa tidak anda bagi dua gandum itu dan menyimpannya dalam dua karung; masing-masing setengahnya?”
Petani makin kagum. Ia tidak pernah sampai pada pikiran secemerlang itu. Tiba-tiba ia menyadari keadaan si bijak. Ia menanyakan apakah ia punya pekerjaan. “Saya tidak punya sepatu, rumah, atau pekerjaan. Bahkan untuk makan malampun saya tidak tahu apakah bisa memperolehnya.”
“Lalu, apa yang anda peroleh dari semua kecerdasan dan ilmu pengetahuan anda?” Tanya petani. Saya hanya mendapat sakit kepala dan khayalan hampa,” jawab si pintar. Segera setelah mendengar pernyataan sang bijak, petani terebut melepaskan tali untanya. Beranjak pergi sambil berucap “Pergilah menjauh dariku. Aku khawatir kemalanganmu berpindah kepadaku. Aku bodoh karena mengisi sekarung lagi dengan pasir, tetapi ketololanku telah memberikan kehidupan kepadaku.”
Sepintas, membaca kisah di atas, saya tersinggung. Dua kasus tersebut seolah sedang mengejek saya yang tergila-gila untuk meraih gelar kesarjanaan. Saya lah si Lintang yang gila dengan ilmu formal di kampus-kampus dan ingin menguasai teori-teori ilmiah. Sayalah si Bijak di pinggir jalan yang bicara besar dan bertindak kecil. Saya menganalisa masalah-masalah, tetapi tidak satupun memberikan penyelesaian. Di sini saya mengalami keracunan. Ilmu yang saya kuasai hanya bisa diandalkan di institusi formal belaka. Saya kaget ketika ada seekor ular kecil “bertamu” ke rumah. Saya takut ular. Membayangkannya saja, saya bercucuran keringat. Teori-teori ilmiah saya pun habis di telan rasa ketakutan. Saya hampir pinsan karena keracunan ilmu sendiri. Ilmuku tak mampu keluar. Dia bersembunyi di kepala. Saya jadi tertawaan orang di rumah.

Tidak ada komentar:

Pages