Al Hikam Ikuti Sekolah Pengelolaan Keragaman di UGM Jogja

Selasa (19/11), Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) angkatan ke-2 yang diselenggarakan oleh Program StudiAgama dan Lintas Budaya, UGM, resmi dibuka. Sekolah yang mempertemukan aktivis dan akademisi ini diikuti oleh 23 peserta dari berbagai daerah di Indonesia. Kegiatan ini juga diikuti oleh Sayyid Taufik Bilfagih, Ketua Umum Yayasan Al Hikam Cinta Indonesia. 
Peserta dan Wakil Direktur Pascasarjana UGM

Pada sesi perkenalan terungkap kekuatiran peserta akan terjadinya perpecahan selama proses pembelajaran mengingat keragaman agama, suku, dan ras para peserta. Perpecahan itu bisa berasal dari kurangnya keterbukaan akibat sensitifitas isu agama, suku dan ras tersebut.

Selain kegelisahan terkait dengan disintegrasi, peserta juga menguatirkan akan terjadinya kejenuhan sebagaimana yang terjadi di kelas-kelas pendidikan formal, sehingga proses transfer pengetahuan akan berjalan tidak maksimal. Tidak hanya peserta yang mengungkapkan kecemasan tersebut, tetapi juga tim pengelola SPK.  Salah satu tim pengelola SPK II, Mustaghfiroh Rahayu, mengakui bahwa SPK kali ini akan lebih menantang karena peserta memiliki pengalaman yang lebih matang dalam isu-isu pengelolaan keragaman dibanding peserta SPK sebelumnya. Sehingga diperlukan proses pembelajaran yang harus menyesuaikan dengan pengalaman peserta, sekaligus mampu memberikan alternatif model pengelolaan keragaman sesuai dengan persoalan masing-masing.

Salah satu fasilitator SPK dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), Nia Sjarifuddin menjelaskan bahwa kekuatiran di atas merupakan hal yang wajar dalam proses dialog dan belajar. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama serta dukungan dari peserta dan panitia sehingga seluruh kegiatan berjalan lancar dan sukses.

Pada sesi pembukaan  Wakil Direktur Bidang Akademik, Pengembangan dan Kerja Sama Sekolah Pascasarjana UGM, Ir. Suryo Purwono, M.A.Sc., Ph.D menyambut kedatangan peserta dengan menjelaskan sejarah Yogyakarta yang sangat dekat sejarah agama. Ia menyebutkan Candi Borobudur, Candi Prambanan, Keraton, dan Gereja Ganjuran sebagai bangunan bersejarah yang merupakan bukti-bukti sejarah perkembangan agama-agama di Yogyakarta.

Suryo mengatakan bahwa membicarakan agama merupakan sesuatu yang mudah memanas, sehingga dibutuhkan cara berdialog yang saling menghargai dan menghormati dalam proses diskusi. Dengan demikian, ia berharap kegiatan SPK akan menjadi kesempatan untuk menambah bekal pengetahuan peserta. Selain itu, SPK harus dimanfaatkan sebagai ruang berbagi pengalaman untuk saling belajar sehingga menjadi kekuatan yang potensial dalam upaya menghindari gesekan antara agama, budaya, dan ras.  
   
SPK II kali ini diikuti oleh peserta dari berbagai wilayah di Indonesia seperti: Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, NTT, dan Jawa. Selain itu, peserta juga berasal dari berbagai latar belakang, di antaranya: pendidik, aktivis LSM, pegawai pemerintahan, aktivis media, peneliti, dan lain-lain. Kegiatan SPK tidak hanya berlangsung di kelas, tetapi juga dikombinasikan dengan kegiatan ekskursi ke berbagai tempat yang terkait seperti Gunung Sempu untuk berdialog dengan penghayat kepercayaan, Paguyuban Noto Bawono dan Pondok Pesantren Waria Senin Kamis. SPK akan berlangsung selama sepuluh hari dari tanggal 18 hingga 28 November dengan puncak kegiatan  adalah Temu Alumni SPK I dengan peserta SPK II pada Kamis, 28 November 2013. (Jim)  

Tidak ada komentar:

Pages