Beberapa waktu lalu, saya pernah berkunjung ke Kota Manado, Sulawesi Utara. Bersama kawan-kawan, saya menyambangi majelis Al-Hikam Cinta Indonesia. Majelis tersebut didirikan Habib Muhsin Bilfaqih, seorang keturunan Yaman, yang kini Mustasyar PWNU Sulawesi Utara. Majelis tersebut, tidak jauh dari dua gereja dan letaknya berimpitan dengan rumah tokoh Muhammadiyah.
Di majelis tersebut tidak hanya tempat mengaji anak-anak, memukul rebana, atawa membaca Ratib dan shalawatan, melainkan tempat berkumpul lintas golongan. Anak-anak muda berlatar belakang Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Muslim sendiri sering bertemu di situ.
Majelisnya didesain seperti itu, menurut Habib Muhsin, karena manusia berasal dari satu Adam. Manusia lebih tua dari agama. Dan yang tua harus dihormati, termasuk identitas yang berbeda-beda. Itu desain tuhan dan tentu ada maksudnya. “Kalau Dia (Tuhan) mau mengubah hari ini, Dia bisa,” katanya.
Pada hakikatnya orang yang membenci perbedaan pun berasal dari Tuhan. Keadaan yang demikian itu sebagai alat uji bagi manusia dan saling mempelajari satu sama lain. Kadang-kadang kita menyadari kebenaran dengan berkaca dari kesalahan orang lain.
Ketika Tuhan menciptakan seseorang, Tuhan juga menciptakan orang lain. Jika seseorang itu ingin dihargai, orang lain pun perlu dihargai. Jika itu kebutuhan kita, maka itu juga kebutuhan orang lain sehingga kita tidak bisa mencaplok kebutuhan orang lain. “Di sinilah pentingnya pertemuan, perkenalan.”
Habib Muhsin Bilfaqih mengatakan, manusia diciptakan memiliki 3 tugas, yaitu hablum minallah. Maka pendekatan yang harus dibangun adalah ibadah. Tidak ada tawar-menawar. Kedua, hablum minan nas, pendekatan yang hars dibangun antarsesama manusia dengan akhlak. Dan ketiga, hablum minal alam, bumi, flora, dan fauna dengan pendekatan teknologi. Jika ketiganya tertata dan terbangun dengan baik, maka itulah sorga di bumi.
Jalan Roda
Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2010, komposisi penduduk Manado berdasarkan agama adalah 128.483 menganut Islam, 254.912 Kristen, 20.603 Katolik, 692 Hindu, 2.244 Budha, dan Konghucu 499 jiwa.
Di kota tersebut hidup beragam suku bangsa. Meski riak-riak konflik selalu ada, tapi kota Manado relatif aman. Pada tahun 1999 misalnya, kota tersebut tidak terjadi kerusuhan sebagaimana kota-kota besar lain.
Di antara perekat multietnis, multiagama kota tersebut adalah motto dan filsafat mereka yang terkenal. Misalnya si tou timou tumou tou yang dipopulerkan Sam Ratulangi, yang berarti manusia hidup untuk memanusiakan orang lain atau orang hidup untuk menghidupkan orang lain. Dalam ungkapan Bahasa Manado, sering kali dikatakan baku beking pande yang secara harafiah berarti saling menambah pintar dengan orang lain.
Motto seperti itu, selain di Majelis Al-Hikam, rekatnya kebersamaan saya temukan juga di ruang publik di kota tersebut, misalnya di Jalan Roda.
Di Jalan Roda duduk berjajar tak hanya anak muda, bahkan orang tua lebih banyak. Ada yang berkalung salib, berkopiah haji, bertopi dan telanjang kepala. Berjilbab sampai rok pendek ada di situ. Sekelompok orang asyik main domino. Sekelompok lain memperhatikan dua orang yang termenung-menung di hadapan bak catur. Umumnya mereka meneguk kopi, sesekali mengisap rokok. Dan tentu saja ngobrol.
Berdasar keterangan pengunjung, pada tahun 1970-an, jalan itu merupakan tempat parkir gerobak-gerobak beroda. Para pemilik gerobak yang rata-rata penjual makanan itu sering ngopi dan ngobrol di situ. Muncul tukang kopi dan rokok. Lama kelamaan tak hanya pemilik gerobak, tukang-tukang lain pun turut nongkrong di situ. Semakin ramai pada tahun 1990-an. Sekarang semakin ramai lagi.
Menurut seorang warga Bugis yang ditemui saat itu, pada tahun 1998 sepanjang Jarod diberi atap. Orang-orang semakin banyak yang datang ke situ. Jika berjanji, sering jalan itu menjadi pilihan. “Bisnis jarum sampai rumah bertingkat di sini,” katanya.
Saya berkenalan dengan orang Sunda asal Tasikmalaya. Ia telah tinggal di kota itu sejak tahun 1971. Sebagaimana obrolan dengan orang-orang sebelumnya, ia menyebutkan Jalan Roda adalah tempat ngopi semua kalangan, di situ tak mengenal Muslim, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, atau tak beragama sekali. Di situ tak mengenal pejabat, jenderal, pemuka agama, atau tukang rongsok. Di situ ngopi dan ngobrol. Selesai urusan.
Tak heran, katanya, calon anggota DPR dan Wali Kota kerap menyambangi Jalan Rod, jika mendeketi Pemilukada. Kemudian poster dan spanduk calon bertebaran di sepanjang gang.
Pria yang bekerja sebagai rental mobil itu mengaku merasa nyaman dengan Manado. Selain keamanan terjamin, ia senang dengan keragaman Manado yang tak membedakan latar belakang.
Oleh: Abdullah Alawie, blogger dan jurnalis. Aktif di Komunitas Surah. Foto: motzter.com
Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:
Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar