"Hai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah di antara kalian adalah orang yang paling bertaqwa" (Al-hujurat: 13).
Dalam ayat di atas Allah telah menandaskan bahwa manusia diciptakan dalam wujud laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku. Dengan tegas ayat ini menandakan pluralitas manusia. Kebhinekaan bukan untuk saling menghilangkan, sebaliknya agar saling mengenal (lita'rafu). Mengenal artinya saling mengerti dan memahami, di sini diandaikan saling belajar sehingga kehidupan menjadi dinamis.
Al-Quran juga sangat menyadari bahwa agama manusia berbeda-beda. Namun, perbedaan ini bukan dijadikan sebagai potensi untuk saling membunuh, sebaliknya dengan santun dan arif al-Quran menawarkan alternatif pencarian titik temu (kalimatun sawa') masing-masing (Q.S. Ali Imran: 64). Terhadap perbedaan, al-Quran melawan keras tindakan diskriminasi. Al-Quran lebih menekankan keadilan sebagai sikap yang ideal bagi perbedaan tersebut (Q.S. al-Maidah: 8).
Atau kalau kita baca ayat demi ayat dalam al-Quran, maka yang ditampilkan adalah kepedulian terhadap wacana kemanusiaan. Karena itu ironis jika masih ada pemeluk agama yang mensikapi perbedaan dan kemajemukan sebagai ancaman (bukan rahmat). Ini menunjukkan cara berpikir dan proses pemahaman yang sempit.
Jika demikian, pendidikan memiliki peran strategis untuk mengembalikan cara berpikir dan sikap peserta didik ke dalam tataran yang mengerti (dan memahami) pluralitas bermasyarakat. Pendidikan yang diselenggarakan haruslah pendidikan yang paham betul terhadap problem akut kemanusiaan seperti penindasan, kemiskinan, pembantaian dan sebagainya. Pendidikan yang dilaksanakan bukan merupakan penanaman wacana dalam fungsi organisatorisnya yang lebih mengedepankan terma perebutan wilayah dan pengikut. Karena pendidikan seperti ini hanya akan menampakkan ekspresi kecurigaan terus menerus dalam prosesnya dan antar sivitas pendidikan. Pendidikan seperti ini juga merupakan upaya pendangkalan wacana keagamaan.
Pendidikan bukan hanya masuk pada penjabaran ajaran yang sangat formal dalam tataran ritual dan tradisi, karena dengan begitu pendidikan hanya merupakan upaya ideologisasi. Sebaliknya, pendidikan hendaknya dipahami dalam sistem transendensi seluruh aspek kehidupan. Transendensi ini bukan dimaksudkan merebut ridla-Nya dengan menyingkirkan keinginan manusia lain (dengan agama/keyakinan lain) yang sama. Sebaliknya, justeru menghargainya dan bersama merumuskan kebutuhan kemanusiaan sebagai refleksi teologis masing-masing.
Pendidikan seperti ini akan menciptakan kreativitas untuk selalu memperluas cakupan makna dari praktek keagamaan formal. Sehingga zakat diperuntukkan bagia siapa saja yang masuk dalam kategori miskin dan faqir, tanpa tergantung pada latar agamanya. Puasa bukan semata penghadiran Tuhan secara individualistis dan dingin, akan tetapi lebih lebar dalam keprihatinan masalah kemanusiaan.
Pendidikan agama semestinya diarahkan untuk mengajak orang menerima dan terbuka terhadap pluralisme. Dengan begitu peserta pendidikan diberikan kesempatan untuk mencerna "rasa keberagamaannya" dengan bahasanya sendiri dan menumbuhkan kesadaran keberagamaan itu di tengah-tengah komunitas lain di luarnya. Di sini peserta pendidikan tidak dipaksa memahami pemahaman dan pengalaman lain dalam bahasa sang guru. Peserta pendidikan dilatih untuk menggunakan kepekaan atas pluralitas dan memahaminya dengan bahasa batinnya sendiri.
Untuk maksud tersebut peserta pendidikan sejak awal sudah dipersaksikan terhadap perbedaan-perbedaan melalui lapangan konkrit, seperti adanya masjid, gereja, pura, wihara, dan beberapa tempat suci bagi agama atau kepercayaan tertentu. Pendidikan seperti ini diharapkan akan meminimalisir atau bahkan mengatasi kecenderungan perseteruan manusia atas nama agama atau keyakinan.
Dalam masyarakat yang relatif majemuk seperti di Indonesia pendidikan agama harus memberikan gambaran dan idealitas moral agamanya secara kontekstual. Di sini dipersyaratkan peninjauan ulang atas doktrin-doktrin agama yang kaku. Seperti halnya jihad bukan dipahami sebagai persetujuan Islam untuk menggunakan kekerasan dalam menyebarkan agama. Melainkan, berarti mengubah sistem yang didasarkan pada istikbar (keangkuhan kekuasaan dan eksploitasi) dan istidh'af (penekanan dan penindasan) serta penolakan terhadap yang munkar (ketidakadilan) (Asghar Ali Engineer; 1993 hal 11). Sisi radikalisasi seperti ini praktis mengandaikan sebuah kerjasama dengan pihak lain. Dalam proses kerjasama tersebut pendidikan agama harus mengambil perannya secara proaktif.
Pluralitas agama dan keyakinan bukan dijadikan sebagai potensi kerusuhan, melainkan merupakan potensi untuk diajak bersama melaksanakan ajaran demi kepentingan kemanusiaan. Karena seluruh agama selalu mengklaim demi keselamatan manusia. Di sini pendidikan agama memiliki peran penting untuk menumbuhkan sikap awal agar bisa bekerja sama dengan agama atau keyakinan yang lain. Pendidikan agama harus memungkinkan tumbuhnya persaudaraan dalam kebersamaan menemukan tradisi ilahi yang sama pada setiap agama, sehingga bisa bersama membangun dunia baru yang lebih bermakna bagi seluruh umat manusia.
Pengembangan sikap toleransi plus barang kali merupakan upaya strategis yang bisa dilakukan, yakni dengan menghormati orang atau golongan lain tanpa kehilangan identitas diri. Untuk ini dialog antar umat beragama menjadi penting sebagai manifestasi membuka diri pengalaman keagamaan. Caranya anak diajak melihat kebaikan kelompok lain, tidak bersikap apriori, SARA dan berperilaku negatif terhadap orang atau kelompok lain. Atau dengan cara sharing penghayatan agama sesuai pengalaman spiritual yang dijalai secara terbuka. Dengan begitu akan terhindar dari informasi yang salah mengenai agama lain.
Dalam cakupan pergaulan dengan bermacam-macam ideologi dan pandangan dunia, pendidikan agama menjadi agen yang akan mempersiapkan peserta didik untuk memasuki dialog tentang prinsip-prinsip kehidupannya sendiri secara terbuka. Karena dari dialog itu cita-cita masyarakat masa depan yang setia terhadap keyakinannya sendiri dan menghormati keterikatan manusia lain pada keyakinannya semakin terbuka. Penghargaan atas manusia lain dalam budaya, keyakinan serta pandangan dunianya menjadikan orang tidak bersikap radikal dan ideologis. Karena itu, kurikulum pendidikan agama juga harus bisa memberikan jaminan bagi terselenggaranya dialog, dengan menyajikan berbagai kearifan masing-masing ajaran dan pengalaman relijius masing-masing individu.
Diambil dari Bulletin Jum'at Al-Ikhtilaf, No. 07/9 Juni 2000, diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta.
oleh: A. Waidl
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar